KOMPAS.com - Polusi udara masih menjadi permasalahan yang belum selesai hingga saat ini.
Selain akar permasalahannya dan faktor penyebabnya yang cukup banyak, dampak dari polusi udara ekstrem ini juga tidak hanya satu sektor saja.
Di banyak bagian dunia, peristiwa polusi udara ekstrem telah menjadi fenomena musiman.
Pada awal November tahun lalu sebelum adanya pandemi Covid-19, New Delhi dan kota-kota lain di India Utara dikabarkan mengalami tingkat polusi udara tertinggi.
Bahkan, polusi udara di sana menyebabkan pembatalan penerbangan dan membuat orang harus tetap menggunakan masker meski berada di dalam rumah.
Baca juga: Cegah Corona dan Polusi Udara, Kota Dunia Buka 3.607 Km Jalur Sepeda
Di Ulaanbaatar, Mongolia, dan ibu kota Thailand, Bangkok, peristiwa ini terjadi pada bulan Januari dan Februari.
Di California dan Australia, kebakaran hutan musim panas sedang terjadi akibat perubahan iklim, yang menghancurkan habitat dan menutupi area yang luas dalam kabut asap yang mencekik.
Kondisi tersebut menjadi contoh dampak ekstrem dari krisis yang memengaruhi semua pihak.
Polusi udara memengaruhi kesehatan manusia, hewan dan planet, dengan perkiraan 7 juta orang meninggal secara prematur karena penyakit yang disebabkan oleh polusi udara.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres dalam pesannya mengatakan, polusi udara adalah risiko lingkungan terbesar bagi kesehatan manusia.
Polusi udara juga menjadi salah satu penyebab utama kematian dan penyakit yang dapat dihindari secara global.
"Di seluruh dunia, sembilan dari setiap 10 orang menghirup udara tidak bersih," kata Guterres dalam keterangan resmi yang diterima Kompas.com dari Indonesia Cerah.
PBB menegaskan, pencemaran udara tidak hanya mengancam kesehatan masyarakat tetapi juga berdampak negatif pada tumbuhan dan ekosistem.
Selain itu, polusi udara ozon saja dapat menyebabkan 52 juta ton hilangnya panen global setiap tahun.
Polusi udara juga mendorong terjadi krisis iklim dengan banyaknya gas rumah kaca dan polutan udara yang berasal dari sumber yang sama.