Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

6 Fakta Kualitas Udara Buruk Jakarta dan 3 Rekomendasi bagi Kita

Kompas.com - 13/08/2020, 13:02 WIB
Ellyvon Pranita,
Gloria Setyvani Putri

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Polusi atau pencemaran udara dapat berakibat fatal karena bisa berdampak pada kesehatan manusia dan kesejahteraan ekonomi suatu kota atau negara yang kualitas udaranya tidak sehat.

Namun, pencemaran udara merupakan masalah yang bisa dikelola karena sumber utama kualitas udara tidak sehat adalah aktivitas dan operasi sistem mesin buatan manusia.

Baca juga: Sumber Utama Polusi Udara Jakarta Ternyata Bukan Transportasi, Kok Bisa?

Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) dalam laporan penelitiannya terkait kualitas udara menemukan beberapa fakta sebagai berikut:

  1. Kualitas udara yang tidak sehat di Jakarta sumber utamanya bukan berasal dari transportasi dalam kota. Melainkan emisi dari pembangkit tenaga listrik dan efek rumah kaca.
  2. Pencemar beracun udara di Jakarta yang terdata adalah emisi gas Sulfur Dioksida (SO2), gas rumah kaca (NOx), partikulat PM 2,5 dan merkuri (Hg).
  3. Kualitas udara yang dipenuhi gas beracun di Jakarta ternyata adalah sumbangsih gas beracun dari wilayah lain di perbatasan, di mana Banten dan Jawa Barat menjadi yang tertinggi penghasil gas beracun untuk Jakarta.
  4. Faktor meteorologi juga membawa gas beracun dari wilayah lain ke Jakarta. Diantaranya Banten, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Lampung, dan Jawa Tegah.
  5. Kerumunan gas beracun di Jakarta ini jika tidak segera diatasi akan berdampak pada kesehatan manusia. Penyakit yang mengancam seperti penyakit-penyakit pernapasan, stroke, penyakit kardiovaskular, dan sistem kekebalan tubuh.
  6. Dampak gas beracun yang berakibat pada kesehatan manusia juga diperhitungkan akan mampu menghabiskan ekonomi kota sekitar Rp 5,1 triliun per tahun.

Rekomendasi

Berkaitan dengan fakta kualitas udara buruk di Jakarta tersebut, CREA memberikan 3 rekomendasi untuk membuat rencana energi nasional, yang harus didukung oleh reformasi sistem pengelolaan kualitas udara negara.

Berikut 3 rekomendasi CREA:

1. Merevisi baku mutu udara ambien nasional

CREA menyebutkan merevisi baku mutu udara ambien nasional ini perlu dilakukan dengan target memenuhi pedoman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang kualitas udara yang sehat.

Oleh sebab itu, dibutuhkan target yang terikat wkatu untuk mengurangi pencemar seperti Sulfur Dioksida (SO2), gas rumah kaca (NOx), partikulat PM 2,5 di tingkat nasional dan provinsi.

Ilustrasi polusiShutterstock Ilustrasi polusi

Nah, dalam hal memastikan keakuratan infromasi tentang kualitas udara dan kepatuhan terhadap baku mutu lingkungan, pemerintah juga harus meningkatkan jaringan pemantauan baik di Jakarta maupun kota-kota besar lainnya.

Stasiun pemantauan ini haruslah bisa mengukur emisi dengan wkatu nyata, dan data dari stasiun ini harus siap tersedia untuk umum. Dengan kata lain, bisa diakses oleh publik atau masyarakat secara bebas.

Data yang didapatkan dari setiap stasiun pemantauan ini juga harus dilaporkan secara elektronik di berbagai tingkat pemerintahan. Hal ini supaya mencegah manipulasi data baik dari daerah kota, provinsi maupun pusat.

2. Menegakkan baku mutu emisi tahun 2019

Baku mutu emisi tahun 2019 yang diperbarui pada semua pembangkit listrik termal yang direncanakan haruslah ditegakkan.

Isabella menegaskan, ini juga termasuk yang sekarang sedang dibangun untuk memastikan bahwa pembangkit bisa menambah teknologi baru guna menyesuaikan dengan baku mutu emisi yang lebih ketat dan aman.

Teknologi baru itu juga harus dilengkapi dengan sistem pamantau emisi terus-menerus (CEMS). Di mana CEMS ini nantinya juga diupayakan untuk bisa mengenali semua jenis pencemar utama udara.

Ilustrasi polusi kendaraan, asap mobilSHUTTERSTOCK/ssuaphotos Ilustrasi polusi kendaraan, asap mobil

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com