Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
BRIN
Badan Riset dan Inovasi Nasional

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) adalah lembaga pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. BRIN memiliki tugas menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi yang terintegrasi.

Urgensi Literasi Iptek

Kompas.com - 04/08/2020, 20:08 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Suherman

ADA hal yang menarik dari hasil menganalisis warisan literasi karya para penulis nusantara di masa lalu. Ternyata karya-karya mereka yang terkenal sampai sekarang hampir semuanya berkaitan dengan masalah kekuasaan atau politik dan filsafat moral.

Saya tidak menemukan tulisan yang berkaitan dengan hasil pengamatan terhadap fenomena alam dan meteri atau saintifik.

Misalnya, nenek moyang kita memiliki kemampuan membuat keris yang indah, akan tetapi yang banyak dibahas adalah dari aspek seni, filosofi, dan magisnya, bukan dari aspek teknologinya. Candi Borobudur sampai hari ini masih misteri secara teknologi karena tidak ada dokumentasi ilmiah yang terwarisi.

Sampai hari ini pun masyarakat kita belum memiliki budaya litrasi Iptek. Riset yang dilakukan oleh Kompas (2008) menyimpulkan bahwa tema sains belum menjadi favorit.

Pusat Riset dan Pengembangan Literatur Keagamaan Depag (2012) memberikan data tentang manuskrip nusantara yang berhasil dikumpulkan. Ternyata, tema yang paling banyak adalah mengenai sufisme (603), disusul dengan hagiografi tradisional (484) dan dongeng (331) dan lain-lain. Seluruh bidang yang berkaitan dengan sains tidak lebih dari 100 buah.

Yang terbaru dilakukan oleh YouGov tentang lemahnya literasi sains. Survei yang dilakukan di 23 negara menempatkan masyarakat Indonesia di urutan tertinggi yang tidak percaya pemanasan global dipicu manusia. Fenomena ini bisa berimplikasi pada kurangnya tanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan (Kompas, 13 Mei 2019).

Lemahnya budaya literasi sains berdampak kepada lemahnya kinerja dan capaian bidang strategis terutama bidang penelitian, inovasi (Indonesia berada di peringkat 97 dari 141 negara, Global Innovation Index 2015) dan lemah daya saing bangsa (Indonesia berada di poisisi 37 dari 56 negara, The Global Competitiveness Report 2015-2016).

Di samping itu, lemahnya literasi ilmu pengatahuan juga berdampak kepada pengangguran dan kemiskinan; perilaku perundungan (bullying), fundamentalisme, dan radikalisme; serta sangat rentannya masyarakat terpapar berita bohong (hoaks) atau post-truth dan antisains.

Secara personal, lemahnya budaya literasi juga mengakibatkan lemahnya kemandirian bahkan berpengaruh terhadap kejiwaan.

Menurut saya, itulah salah satu penyebab Indonesia belum menjadi negara maju sampai sekarang. Negara yang abai terhadap pembangunan budaya literasi Iptek akan dikutuk menjadi negara terbelakang sampai langit runtuh.

Yunani, misalnya. Bangsa yang asalnya menjadi soko guru peradaban dunia—negeri para filsuf itu—kini menjadi negara gagal (failed state) karena terlilit utang. Yunani gagal mentrasformasi diri dari bangsa filosofis menjadi bangsa yang pragmatis. Sejarah banyak memberikan bukti bahwa jarang sekali ada filsuf yang hidupnya kaya, kalau yang menjadi gila banyak.

Dari dahulu sampai hari ini, imperialisme dan kolonialisme pada hakikatnya adalah perang iptek, bukan sekadar perang ideologi. Bangsa kita dijajah sampai berabad-abad lamanya pada hakikatnya adalah kuasa literasi sains atas budaya non-sains.

Tom Pires (1465-1540), Cornelis de Houtman (1565-1599), dan Jan Huygen van Lin-schoten (1563-1611) adalah para penjelajah dunia yang menemukan rute nusantara sebagai pembuka pintu penjajahan. Mereka semua tidak kesasar bertandang ke nusantara karena atas petujuk sains, bukan hasil perdukunan.

Akhirnya VOC datang ke nusantara pada tahun 1602, bukan hanya berbekal kapital saja tapi juga kapalnya penuh dengan senjata canggih—sebagai produk ilmu pengetahuan—yang digambarkan seperti panggung senjata di atas laut.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com