KOMPAS.com - Di tengah pandemi Covid-19, sumber wabah penyakit lain yang mematikan tidak diperhatikan sebagian besar dunia. Salah satunya mosquito borne disease atau penyakit yang ditularkan nyamuk.
Peneliti Stanford yang bekerja di pedesaan Kenya, pada Juni lalu melaporkan habitat nyamuk tertentu berkembang sangat prouktif.
Ini merupakan penyebar virus yang tidak dapat diobati dan membuat jutaan orang sakit setiap tahunnya.
Dalam temuan yang terbit di jurnal PLOS Neglected Tropical Diseases, ilmuwan menunjukkan bagaimana perempuan dan anak-anak bisa menjadi agen perubahan kesehatan yang efektif dan efisien.
Baca juga: Dari Data Sinar-X, Ilmuwan Jelaskan Senyawa Alami ini Bunuh Nyamuk
"Banyak orang mendapatkan air dengan cara menampung curah hujan, sumur, atau lubang bor.Hingga semua orang di dunia memiliki akses mendapat pipa air yang lebih aman, risiko penularan penyakit karena nyamuk akan berkurang," kata penulis senior studi Desiree LaBeaud, seorang profesor dan pediatri di Stanford Medical School, seperti dilansir Science Daily, 8 Juni 2020.
Meski mungil, nyamuk Aedes aegypti merupakan ancaman besar untuk semua orang di dunia.
Aedes aegypti menularkan sejumlah virus yang mengakibatkan sejumlah penyakit termasuk demam berdarah, chikungunya, Zika, dan demam kuning yang tidak ada vaksin atau terapinya.
Ada berbagai gejala yang dapat mencakup ensefalitis (radang otak) yang mengancam jiwa hingga perdarahan atau artritis yang bertahan selama bertahun-tahun.
Dua dekade terakhir, wabah penyakit yang disebabkan nyamuk semakin umum dan tidak dapat diprediksi.
Semua negara di setiap benua, kecuali Antartika, telah menderita sejumlah wabah virus Aedes aegypti yang menyebar dalam beberapa tahun terakhir.
Di beberapa negara Afrika, wabah penyakit ini sering salah diagnosis. Ini karena upaya kesehatan masyarakat di sana berfokus pada nyamuk yang menggigit di malam hari, nyamuk Anopheles betina yang menyebabkan malaria.
Para peneliti menemukan, penduduk di daerah penelitian memiliki kesadaran terbatas tentang nyamuk Aedes aegypti yang menggigit di siang hari. Masyarakat hanya melakukan pencegahan digigit nyamuk dengan tidur di bawah kelambu.
Karena kurangnya pipa air, kebanyakan orang di Afrika mendapatkan air dari curah hujan dan sumur atau lubang bor.
Banyak orang juga membiarkan air yang tersimpan tidak tertutup di berbagai wadah.
Para peneliti mensurvei ratusan penduduk dan mengukur kelimpahan nyamuk dalam ember, jerigen dan wadah penampung air lainnya - habitat berkembang biak yang paling umum untuk nyamuk Aedes aegypti.
Lebih dari separuh nyamuk yang ditemukan peneliti berada di ban, ember, dan wadah kecil tanpa tujuan segera, dan hampir 40 persen nyamuk yang mereka temukan adalah ember yang digunakan untuk binatu.