Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ahli Sebut Kunci Perangi Corona adalah Perbanyak Jumlah Tes, Benarkah?

Kompas.com - 29/06/2020, 09:03 WIB
Gloria Setyvani Putri

Editor

KOMPAS.com - Setiap warga Amerika Serikat harus menjalani tes Covid-19 sekali dalam dua minggu sebagai syarat menuju kehidupan yang kembali normal.

Demikian pendapat seorang pakar ekonomi Paul Romer yang pernah memenangkan hadiah Nobel di bidang ekonomi.

Bila hal tersebut dilakukan maka setiap hari akan ada 20 sampai 30 juta tes yang dilakukan terhadap warga di Amerika Serikat, jauh di atas jumlah tes harian yang sekarang hanya dilakukan kepada 400 penduduk.

Menurut Paul Romer, bila hal ini dilakukan, Amerika Serikat bisa kembali ke kehidupan normal sampai vaksin corona ditemukan.

Baca juga: Ahli Mulai Memahami Banyak Masalah Kesehatan yang Ditimbulkan Corona

Jika usul Professor Romer diterima, maka biaya yang akan dihabiskan untuk pengetesan setiap minggunya adalah sekitar Rp 20 triliun.

Namun Romer mengatakan biaya besar itu akan sepadan dengan manfaat yang dihasilkan.

"Kita harus memilih antara memerangi virus ini dengan seluruh sumber daya yang kita punyai, atau menyerah karena jawaban yang ada terlalu sulit untuk dilakukan," ujar Romer.

Bagaimana mengetes 20 juta orang sehari?

Professor Romer bukanlah satu-satunya pakar ekonomi yang mengatakan jika Amerika Serikat harus melakukan tes massal untuk bisa mengatasi pandemi COVID-19.

Tim pakar yang dipimpin oleh Harvard University mengatakan pandemi virus corona merupakan ancaman berat bagi demokrasi Amerika Serikat, yang bisa disamakan dengan Great Depression di tahun 1920-an.

Mereka mengatakan melakukan tes terhadap jutaan orang setiap hari akan memerlukan koordinasi yang cepat dalam aktivitas bisnis yang belum pernah dilakukan sejak Perang Dunia kedua.

Puluhan juta alat tes harus dibuat dan didistribusikan dan puluhan ribu pekerja kesehatan harus dilatih untuk bisa melakukan tes.

Setidaknya 100 ribu orang diperlukan untuk menjadi tim pencari pasien yang positif bila ada penyebaran wabah di satu wilayah.

Biaya untuk melakukan tes akan sangat besar dan tidak ada negara yang sebelumnya pernah melakukan hal ini.

 

Uji swab dilakukan terhadap sebuah keluarga di Aceh dan orang-orang yang berkontak dengan keluarga tersebut. Hidayatullah/BBC Indonesia Uji swab dilakukan terhadap sebuah keluarga di Aceh dan orang-orang yang berkontak dengan keluarga tersebut.

Di China, pihak berwenang mengatakan pada bulan Mei mereka melakukan tes terhadap 1,47 juta warga di Wuhan, kota asal virus corona.

Namun hal tersebut dilakukan lewat sistem tes bernama 'pool testing', di mana sampel dari 10 orang diproses secara bersamaan.

Bila ada yang positif dari kelompok tersebut, maka kemudian tes terhadap para individu dalam kelompok tersebut akan dilakukan.

Apakah pengetesan mencegah penularan?

Beberapa pakar kesehatan masih bersikeras mengatakan tes massal terhadap warga merupakan hal yang tidak mungkin dilakukan.

Mereka menganggap prioritas utama saat ini masih 'social distancing'.

"Kekhawatiran saya adalah kita akan memberikan harapan palsu jika dengan pengetasan akan mencegah penularan. Bukan itu. Perilaku kita penyebab penyebaran," kata Jonathan Quick, profesor kesehatan publik dalam acara Podcast World Affairs.

Namun menurut para pakar ekonomi, melakukan lockdown sampai vaksin ditemukan hanya akan menghancurkan perekonomian yang sudah ada.

 

Tim medis Puskesmas Kecamatan Tanah Abang mengambil sampel lendir warga saat tes usap di Pasar Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, Selasa (16/6/2020). Pemerintah Kota Jakarta Pusat melalui Kecamatan Tanah Abang melakukan rapid dan swab test COVID-19 yang diperuntukkan bagi para pedagang dan warga di sekitar pasar tersebut.KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG Tim medis Puskesmas Kecamatan Tanah Abang mengambil sampel lendir warga saat tes usap di Pasar Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, Selasa (16/6/2020). Pemerintah Kota Jakarta Pusat melalui Kecamatan Tanah Abang melakukan rapid dan swab test COVID-19 yang diperuntukkan bagi para pedagang dan warga di sekitar pasar tersebut.

"Biaya untuk testing dan pelacakan akan jauh lebih rendah dibandingkan biaya ekonomi karantina kolektif yang terus berlanjut, sekitar 140 sampai 500 miliar dolar setiap bulan," kata para peneliti dari Harvard.

Professor Romer mengatakan tes massal adalah satu-satunya cara agar Amerika Serikat bisa kembali ke kehidupan normal.

"Perbedaannya di sini adalah masalah logistik. Apakah kita bisa melakukan tes sebanyak itu? Jawaban saya adalah ya, kita harus melakukannya untuk mengetahuinya," katanya.

120 ribu warga AS meninggal

Setelah terjadi penurunan angka penularan COVID-19 selama beberapa minggu belakangan, angka infeksi di Amerika Serikat meningkat lagi.

Menurut angka dari Johns Hopkins University, pada tanggal 24 Juni angka kasus baru di AS adalah 34.700 orang, angka harian tertingi sejak bulan April.

Gedung Putih juga sedang mempersiapkan kemungkinan adanya gelombang kedua penularan di sekitar bulan Oktober saat cuaca mulai dingin.

Namun Presiden Donald Trump tidak mempertimbangkan pandangan para pakar mengenai tes massal.

Bahkan, sebelumnya Presiden Trump mengatakan bahwa virus akan 'menghilang' meskipun tidak ada vaksin yang berhasil dibuat.

Baca juga: PBB: Dunia Terancam Bencana Kelaparan Akibat Pandemi Covid-19

Presiden Trump dalam pidato kampanyenya di depan pendukungnya di Tulsa mengatakan bahwa dia sudah memberitahu pejabat yang dipimpinnya untuk 'mengurangi pengetesan', tapi kemudian para pembantunya mengatakan bahwa Trump hanya bergurau.

Dr Fauci kepada Kongres mengatakan, dia dan timnya tidak pernah mendapatkan instruksi dari Trump untuk mengurangi jumlah tes guna menutupi jumlah angka penularan di AS.

"Kami melakukan lebih banyak tes, bukan lebih sedikit," katanya.

Sejauh ini tercatat 120 ribu orang meninggal dunia di Amerika Serikat karena COVID-19

Ameriksa Serikat dan sudah melakukan tes terhadap lebih dari 30 juta orang sejak pandemi dimulai, meski beberapa pakar mengatakan jumlah itu masih belum cukup.

Menurut para pakar dari Johns Hopkins University, jumlah kasus positif yang ada menunjukkan bahwa Amerika Serikat sedang menghadapi "wabah terbesar yang terjadi di dunia".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com