Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ahli Sarankan untuk Bijak Gunakan Media Sosial, Ini Caranya...

Kompas.com - 27/05/2020, 18:03 WIB
Yohana Artha Uly,
Sri Anindiati Nursastri

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Era digitalisasi melahirkan banyak platform media sosial seperti instagram, Facebook, Twitter, hingga Tiktok. Ini semua menjadi wadah bagi banyak orang untuk menampilkan diri mereka pada publik.

Seiring dengan kemunculan media sosial, juga turut muncul fenomena panjat sosial (pansos) di kalangan pengguna media sosial.

Pansos merupakan serangkaian upaya yang dilakukan seseorang untuk mencitrakan dirinya sedemikian rupa, hingga memiliki status sosial yang tinggi dan akhirnya mendapat nilai keekonomian.

Baca juga: Seperti Indira Kalistha, Kenapa Banyak Orang Abai Pandemi Corona?

Menurut Psikiater Dr. dr. Nova Riyanti Yusuf, SpKJ, serangkaian upaya itu dilakukan dengan cukup terencana, masif, dan cenderung bombastis. Mereka menghalalkan segala cara untuk menarik perhatian publik, tak peduli dengan kualitas konten.

"Jadi kontennya apa aja lah, yang penting dia jadi menonjol dan berbeda dari yang lain. Menurut saya, mereka ini orang-orang yang cenderung enggak peduli prestasi, yang penting adalah gratifikasi ketenaran," katanya dalam live instagram diskusi mengenai fenomena pansos, Senin (25/5/2020).

Baca juga: Fenomena Viral Konten Influencer Soal Covid-19, Ini Penjelasan Ahli

Noriyu, sapaan akrabnya, menjelaskan warganet sudah seharusnya tidak memberikan ruang bagi para pelaku pansos untuk mendapatkan kepopuleran. Lantaran, konten yang mereka hasilkan tak bermanfaat pada masyarakat dan cenderung negatif.

Hal ini dapat dilakukan warganet dengan tidak sembarangan memberikan 'klik menyukai', melainkan memilih konten-konten yang memang memiliki nilai positif dan bermanfaat sehingga layak untuk disukai.

"Orang mungkin mikir 'ah hanya one klik, one like', padahal satu klik itu sangat memberikan dampak. Artinya menggunakan jempol untuk menyukai suatu postingan adalah tindakan yang harus bijak," katanya.

'Don't make stupid people famous' sepertinya jadi istilah yang populer dan tepat untuk menggambarkan sikap seharusnya warganet pada para pelaku pansos.

Sementara itu, untuk mereka yang berniat menjadi influencer, Noriyu menyarankan, agar membuat konten yang bersifat inspiratif.

Baca juga: Viral Dedy Susanto, Apa Bedanya Psikolog dan Psikiater?

Saat ini umumnya para influencer hanya membagikan konten-konten yang cenderung menyimbolkan kekayaan atau kesuksesan. Seperti menggunakan barang-barang bermerek terkenal dengan harga selangit atau menggunakan jet pribadi.

Padahal untuk mencapai kesuksesan tersebut tentunya ada proses panjang yang harus dilalui, sehingga apa yang didapat bukanlah secara instan melainkan kerja keras. Proses ini lah yang perlu dibagikan kepada warganet.

"Misalnya dulu enggak bisa beli sepatu tertentu, dan berpikir 'kalau sudah kerja nanti saya mau beli ah'. Nah, bagikan kalau sekarang sudah bisa punya sepatu itu ya karena perjuangan berkerja," jelasnya.

Dengan demikian, warganet dapat mempersepsikan dengan baik dan tepat terhadap konten-konten influencer, bahwa untuk mencapai suatu hal dibutuhkan kerja keras.

"Tampilkan proses inspiratif, realita itu proses bukan gratifikasi instan. Jadi work is investment, bukan hanya dengan satu klik," tutupnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com