Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kenapa Angka Kematian akibat Corona di Negara Kaya Sangat Tinggi?

Kompas.com - 26/05/2020, 08:04 WIB
Gloria Setyvani Putri

Editor

KOMPAS.com - Inilah kisah para dokter dan perawat yang senantiasa menjalankan tugasnya menyelamatkan nyawa. Namun, virus corona terlalu berat untuk ditangani.

Unit gawat darurat, koridor-koridor rumah sakit disesaki pasien yang ketakutan, para dokter yang terpaksa mengambil keputusan berat: siapa yang akan mendapat ventilator dan siapa yang tidak.

Kita telah melihat kesedihan dan kekecewaan di balik masker para tenaga medis. Mayat-mayat korban bergelimpangan, bahkan ada yang dikuburkan bertumpuk-tumpuk dalam satu lubang.

Semua ini terdengar seperti kejadian ratusan tahun lalu. Atau, jika terjadi sekarang, tempatnya di negara yang jauh.

Tetapi, ini benar-benar terjadi. Kekayaan dan obat-obatan modern yang dimiliki negara-negara "dunia pertama" ternyata tak dapat mencegah penyebaran Covid-19 yang mengerikan bagi warganya.

Baca juga: CDC: Selain Kontak Orang Terinfeksi, Corona Tak Menyebar dengan Mudah

Tidak ada penjelasan tunggal

Kita sudah tahu penyebab utamanya: respons yang lambat, kurangnya alat tes dan alat pelindung diri (APD) di banyak negara. Dalam hal ini, Australia menjadi contoh keberhasilan di antara negara-negara kaya.

Menurut para pakar, ada beberapa faktor mengapa negara lain dalam kelompok negara kaya mengalami kegagalan yang begitu buruk.

Data dari Universitas Johns Hopkins di Amerika Serikat mengungkap sejumlah hal. Namun, mungkin yang paling mencolok adalah AS, Inggris, Italia, Perancis, dan Spanyol kini memiliki 70 persen dari total kematian Covid-19 di dunia.

Semua negara itu kaya dan memiliki sistem kesehatan yang canggih. Meski persentase kematian sudah menurun, pukulannya sudah begitu berat, dan bahkan potensi ancaman di masa depan tetap nyata.

Negara seperti Rusia dan Brasil sekarang terancam masuk dalam negara-negara yang paling parah tersebut.

Sementara banyak negara miskin dan berpenghasilan menengah, sejauh ini selamat dari kondisi kematian seperti yang dialami negara-negara kaya.

Tidak ada penjelasan tunggal untuk memahami hal ini. Namun, ada beberapa pengamatan umum yang masuk akal.

Foto ini diambil pada Rabu, 20 Mei 2020, tampak seorang wanita bereaksi ketika dia berjalan melewati potret pekerja medis Saint Petersburg yang meninggal akibat terinfeksi virus corona selama melakukan pekerjaan mereka.AP/Dmitri Lovetsky Foto ini diambil pada Rabu, 20 Mei 2020, tampak seorang wanita bereaksi ketika dia berjalan melewati potret pekerja medis Saint Petersburg yang meninggal akibat terinfeksi virus corona selama melakukan pekerjaan mereka.

Dampak dari perjalanan internasional

Negara-negara yang paling terpukul merupakan negara yang paling banyak pergerakan manusianya secara internasional, dengan bandara-bandara tersibuk di dunia, dikunjungi ratusan juta penumpang setiap tahun.

Warga dari negara-negara kaya banyak melakukan perjalanan internasional dan menikmati hubungan perdagangan global, terutama dengan China, tempat wabah ini bermula.

Perjalanan internasional ini tidak diragukan lagi telah menyebarkan virus corona dengan cepat dan efisien.

Faktor ini mengurangi kesempatan merespons penyebaran virus bagi kota-kota kosmopolitan, seperti New York, London, dan Paris.

Posisi mereka sebagai pusat internasional justru membawa malapetaka.

Kurangnya perjalanan ke negara-negara berpenghasilan rendah hingga menengah membantu menjelaskan mengapa umumnya mereka selamat dari virus, setidaknya pada hari-hari awal pandemi.

Menurut Profesor Tony Blakely, ahli epidemiologi dari University of Melbourne, faktor ini menjadikan negara-negara tersebut memiliki lebih banyak waktu dalam merespons virus.

Petugas bersiap menurunkan jenazah pasien COVID-19 dari mobil ambulans saat akan dimakamkan di pemakaman Macanda, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Minggu (5/4/2020). Jumlah pasien positif COVID-19 di Sulsel per hari Minggu (5/4) telah mencapai 80 kasus, pasien yang telah dinyatakan sembuh sebanyak sembilan orang, sementara kasus kematian sebanyak enam orang. ANTARA FOTO/Abriawan Abhe/aww.ANTARA FOTO/ABRIAWAN ABHE Petugas bersiap menurunkan jenazah pasien COVID-19 dari mobil ambulans saat akan dimakamkan di pemakaman Macanda, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Minggu (5/4/2020). Jumlah pasien positif COVID-19 di Sulsel per hari Minggu (5/4) telah mencapai 80 kasus, pasien yang telah dinyatakan sembuh sebanyak sembilan orang, sementara kasus kematian sebanyak enam orang. ANTARA FOTO/Abriawan Abhe/aww.

"Virus itu datang dari China dan menyebar ke negara-negara Asia Timur, kemudian dengan cepat menyebar ke Eropa dan Amerika Utara daripada misalnya ke India atau Afrika," katanya kepada ABC.

Dr Abrar Chughtai dari UNSW Sydney sependapat bahwa rendahnya jumlah "penyebar" dapat menjelaskan mengapa beberapa negara selamat sejauh ini.

"Untuk memulai pandemi, diperlukan sejumlah kasus penyebar dalam masyarakat," katanya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com