Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

3 Salah Kaprah Penerapan PSBB di Indonesia dan Solusinya

Kompas.com - 24/04/2020, 18:33 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh Dr Febi Dwirahmadi

Untuk mencegah laju penyebaran Covid-19 di Indonesia, pemerintah akhirnya memutuskan untuk menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada 31 Maret 2020, hampir sebulan sejak kasus Covid-19 pertama kali ditemukan di Indonesia.

PSBB atau bisa diartikan sebagai lockdown parsial merupakan salah satu intervensi yang dilakukan pemerintah setelah sebelumnya mengimbau masyarakat untuk menjaga jarak (physical distancing).

Kebijakan ini membatasi mobilitas masyarakat, salah satunya dengan menutup sekolah-sekolah dan kantor-kantor, guna memutus rantai penyebaran virus SARS-CoV-2, penyebab Covid-19.

Saat ini, Covid-19 sudah menyebar ke seluruh 34 provinsi di Indonesia. Hingga 23 April, jumlah orang yang terinfeksi Covid-19 bertambah menjadi 7.418 kasus dan 635 meninggal (https://www.covid19.go.id/).

Tim ahli epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia memperkirakan jumlah orang yang terinfeksi Covid-19 bisa menyentuh 2,5 juta orang dengan jumlah korban mencapai 240.244 jiwa.

Namun hingga saat ini baru 18 provinsi yang mendapatkan izin dari pemerintah pusat untuk menerapkan PSBB.

Selain itu, banyak daerah yang menunjukkan penerapan yang tidak efektif. Beberapa ruas jalan di Jakarta masih macet meski penerapan PSBB sudah memasuki minggu kedua.

Sebagai ahli kesehatan masyarakat, saya melihat pelaksanaan PSBB ini di Indonesia memiliki setidaknya tiga masalah dan berikut solusinya:

1. Proses birokrasi yang rumit

Semua bermula dari proses penetapan PSBB di daerah-daerah yang harus mendapatkan persetujuan dari pemerintah pusat melalui Menteri Kesehatan.

Untuk mendapatkan persetujuan, setiap pemerintah daerah harus memenuhi beberapa persyaratan, di antaranya jumlah kasus yang memadai dan penyebaran kasus yang cepat dan kejadian penularan virus lokal di wilayah tersebut. Meski dalam persyaratan tersebut, tidak disebutkan dengan jelas parameternya.

Akibatnya beberapa daerah seperti Fakfak dan Sorong di Papua Barat, Mimika di Papua, Tegal di Jawa Timur, Palangkaraya di Kalimantan Tengah, dan Rote Ndao di Nusa Tenggara Timur telah mendapatkan penolakan atas permohonan mereka untuk menerapkan PSBB di daerah mereka.

Pemerintah pusat berargumen bahwa persetujuan dari pusat penting agar tindakan yang dilakukan oleh pusat dan daerah dalam menangani penularan Covid-19 selaras dan efektif.

Namun dengan proses birokrasi yang cukup memakan waktu, saya ragu niat baik tersebut akan terwujud.

Bahkan setelah mendapat persetujuan, pemerintah daerah belum otomatis dapat menerapkan PSBB secara langsung. Mereka harus menyiapkan diri untuk menyebar informasi tentang pemberlakuan PSBB di daerahnya kepada masyarakat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com