Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 21/04/2020, 18:30 WIB
Gloria Setyvani Putri

Editor

KOMPAS.com - Tingkat polusi udara yang tinggi dapat menjadi salah satu faktor risiko dalam kasus fatal Covid-19, menurut keterangan resmi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Kaitan antara polusi yang akut dan angka kematian akibat virus corona yang tinggi sebelumnya juga muncul dalam dua kajian ilmiah, satu di antaranya dikerjakan peneliti dari Universitas Harvard.

"Suatu negara dengan tingkat polusi udara tinggi harus memasukkan faktor itu dalam persiapan mereka menanggulangi Covid-19," kata Direktur Departemen Kesehatan Masyarakat dan Lingkungan WHO, Maria Neira.

"Alasannya, polusi udara meningkatkan risiko angka kematian yang tinggi."

"Kami menyoroti Amerika Selatan, Afrika, dan Asia. Kami akan menyusun peta kota paling berpolusi untuk mendukung pemerintahan di kawasan ini mempersiapkan strategi penanganan epidemi," tuturnya.

Baca juga: Update Corona 21 April: 2,48 Juta Orang Terinfeksi, 651.542 Sembuh

Para pekerja medis sependapat bahwa terlalu dini untuk menyebut adanya kaitan langsung antara tingkat kematian akibat Covid-19 dan polusi udara

Namun sejumlah pakar di beberapa negara mengaku sudah menemukan pasien yang menunjukkan bahwa kesehatan yang terpengaruh polusi udara dapat berujung pada infeksi parah Covid-19.

Kematian akibat polusi udara

WHO memperkirakan ada sekitar tujuh juta orang meninggal setiap tahun akibat polusi udara.

Mayoritas negara yang terdampak polusi itu berada di Asia bagian selatan, Timur Tengah, sub-Sahara, dan Afrika Utara.

Pemetaan itu merujuk laporan Bank Dunia yang dipublikasikan tahun 2019 terkait persebaran polusi udara secara global.

Kota-kota di Amerika Selatan, seperti di negara Chili, Brasil, Meksiko, dan Peru, dinyatakan memiliki tingkat polusi udara yang sangat berbahaya dalam laporan WHO dan PBB.

Kajian dari Sekolah Kesehatan Masyarakat T.H. Chan, Universitas Harvard, menyebut angka kematian pasien Covid-19 bisa bertambah hingga 15 persen akibat bertambahnya partikel halus polusi udara selama beberapa tahun sebelum pandemi terjadi.

Walau polusi udara yang menyelubungi Palangkaraya mencapai puluhan kali lipat dari batas normal, sebagian warga tampak tidak memakai masker dan merokok sembari mengendarai motor. dok BBC Indonesia Walau polusi udara yang menyelubungi Palangkaraya mencapai puluhan kali lipat dari batas normal, sebagian warga tampak tidak memakai masker dan merokok sembari mengendarai motor.

Kajian itu menyorot sebagian besar wilayah Amerika Serikat. Para penelitinya menggunakan data polusi udara AS secara nasional dan memasukkan data sensus untuk membandingkan angka kematian Covid-19 yang disusun Universitas John Hopkins.

Mereka menyebut tingkat kematian itu bertambah ketika konsentrasi partikel halus polusi, yang dikenal sebagai PM2.5, yang tinggi.

PM2.5 adalah partikel halus, berukuran satu pertiga puluh diameter rambut manusia. Jika dihirup, artikel itu bisa mencapai paru-paru dan aluran darah.

Partikel ini belakangan dihubungkan dengan persoalan kesehatan, dari infeksi pernafasan dan kanker paru.

Kajian itu belum dikaji ulang oleh peneliti lainnya. Meski begitu, Profesor Annette Peters, pimpinan departemen epidemologi di Universitas Ludwig Maximilians, Jerman, menyebut temuan tersebut masuk akal.

"Temuan tersebut senada dengan beberapa laporan awal mengenai pasien rawat inap dan kematian akibat infeksi paru-paru," ujar Peters.

"Ini adalah satu dari beberapa kajian awal untuk memperkuat kecurigaan dan hipotesis bahwa fatalitas Covid-19 dapat menjadi semakin buruk akibat polusi udara," ujarnya.

Penelitian itu dikerjakan para pakar dari Universitas Siena, Italia, dan Universitas Arhus, Denmark.

Berdasarkan data resmi pemerintah Italia, kematian akibat Covid-19 di wilayah Lombardy dan Emilia Romagna hingga 21 Maret mencapai 12 persen. Sebagai perbandingan, persentase di wilayah Italia lainnya adalah 4,5 persen.

Kajian yang diterbitkan dalam jurnal daring Science Direct itu menyatakan, "Polusi udara tinggi di Italia bagian utara semestinya diperhitungkan sebagai faktor pendorong jumlah kematian yang tinggi akibat Covid-19 di wilayah tersebut."

Penelitian itu juga menyebut faktor lain yang patut diperhitungkan, antara lain populasi, usia, sistem kesehatan yang berbeda, dan kebijakan pencegahan yang berbeda di setiap wilayah.
Polusi udara di negara berkembang

WHO menyebut lebih dari 90 persen populasi dunia tinggal di wilayah dengan tingkat polusi yang melebihi batas normal. Mayoritas penduduk itu tinggal negara di negara miskin.

"Dalam data awal kami, hampir seluruh pasien di Filipina yang meninggal akibat Covid-19 memiliki penyakit bawaan, mayoritas berkaitan dengan polusi udara," kata Cesar Bugaoisan, pakar penyakit pernafasan di Asosiasi Praktisi Kesehatan Paru di Filipina.

Sejumlah kajian yang terbit belakangan ini, termasuk Laporan Kualitas Udara Dunia 2019, menyebut India adalah negara dengan kota berpolusi udara tinggi terbanyak.

Pegawai PT POS Indonesia (Persero) bersama para ojek daring bersiap mendistribusikan bantuan sosial sembako di depan Istana Merdeka, Jakarta, Senin (20/4/2020). Pemerintah mulai menyalurkan bantuan sosial untuk wilayah di DKI Jakarta dalam rangka penanganan COVID-19 di wilayah Jabodetabek.ANTARA FOTO/SIGID KURNIAWAN Pegawai PT POS Indonesia (Persero) bersama para ojek daring bersiap mendistribusikan bantuan sosial sembako di depan Istana Merdeka, Jakarta, Senin (20/4/2020). Pemerintah mulai menyalurkan bantuan sosial untuk wilayah di DKI Jakarta dalam rangka penanganan COVID-19 di wilayah Jabodetabek.

Sejauh ini terdapat 521 kasus kematian akibat Covid-19 di India, menurut data Universitas John Hopkins.

Sejumlah dokter di India berkata kepada BBC bahwa mereka tidak meremehkan kaitan antara penyakit yang disebabkan polusi udara dan kasus fatal Covid-19.

"Jika kita lihat virus corona yang semakin menyebar, orang-orang dengan penyakit bawaan berbasis polusi udara akan menjadi kelompok yang paling rentan," kata SK Chhabra, pimpinan departemen penyakit paru di Primus Super Speciality Hospital, New Delhi.

Profesor Srinath Reddy, presiden Yayasan India untuk Kesehatan Masyarakat, sependapat.

"Jika polusi udara sudah merusak jalur pernafasan dan jaringan paru-paru, cadangan ruang untuk mengatasi serangan virus corona berkurang," tuturnya.

Namun otoritas kesehatan India menyebut tidak ada cukup informasi untuk memastikan kaitan dua hal ini.

"Tidak ada cukup bukti dan kami juga tidak melakukan kajian semacam itu," kata Rajni Kant Srivastava, juru bicara Dewan Penelitian Medis India.

Baca juga: Ini Alasan Mengapa Orang Percaya pada Teori Konspirasi Virus Corona

SARS dan polusi udara

Wabah SARS tahun 2002 disebabkan versi lain virus corona. Penyakit berupa infeksi saluran pernapasan itu menyebar ke 26 negara, menyerang lebih dari 8.000 orang dan menewaskan sekitar 800 di antaranya.

Penelitian tahun 2003 yang dilakukan Sekolah Kesehatan Masyarakat UCLA, Amerika Serikat, menyebut mereka yang mengidap SARS dua kali lebih berisko meninggal jika berasal dari wilayah berpolusi udara tinggi.

Tingkat polusi udara membaik sejak pandemi global Covid-19, tapi ada kekhawatiran angkanya akan kembali memburuk seiring pelonggaran karantina wilayah di berbagai negara.

Salah satu peneliti dalam kajian terbaru Harvard, Profesor Francesca Dominici, berharap laporannya mendorong pengambil kebijakan untuk mempertimbangkan faktor polusi udara.

"Kami berharap kajian ini bisa menyetop kualitas udara ke arah yang lebih buruk, terutama ketika sejumlah negara berencana merelaksasi ketentuan polusi selama pandemi," ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com