Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 28/03/2020, 11:04 WIB
Shierine Wangsa Wibawa

Penulis

KOMPAS.com - Pemeriksaan virus corona menggunakan rapid test sudah mulai digelontorkan. Namun, masih banyak pertanyaan mengenai rapid test, seperti cara kerjanya dan siapa yang boleh menjalaninya.

Dijelaskan oleh Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof Dr dr Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, MMB, dalam konferensi pers daring #FKUIPeduliCovid19 pada Jumat (27/3/2020), rapid test diprioritaskan untuk orang dalam pemantauan (ODP)

Untuk diketahui, ODP merupakan orang-orang yang memiliki gejala virus corona ringan, seperti demam dan pilek, dan memiliki riwayat kontak dengan orang yang suspek atau sudah positif corona.

Baca juga: Rapid Test untuk Tes Massal Corona, Ini Metode dan Prosedurnya

Cara kerja rapid test

Di Jawa Barat, merek rapid test yang digunakan adalah Wondfo. Sementara itu, di DKI Jakarta, merek rapid test yang digunakan adalah VivaDiag.

Baik Wondfo maupun VivaDiag menguji antibodi SARS-CoV-2, Immunoglobulin G (IgG) dan Immunoglobulin M (IgM), yang terdapat pada sampel darah.

Ketika sampel darah masuk, antibodi IgG dan/atau IgM yang terdapat dalam darah akan bereaksi dan menimbulkan warna pada rapid test. Metode ini disebut Lateral Flow Assay.

Akan tetapi, harus dicatat bahwa rapid test bisa menimbulkan hasil negatif palsu jika orang yang dites berada dalam window period infeksi.

Pasalnya, ketika masih belum bergejala (asimptomatik) atau masih dalam periode inkubasi, IgM atau IgG belum dapat dideteksi oleh rapid test.

Baca juga: Rapid Test Massal Virus Corona, Pakar: Bagus, Tapi Belum Tentu Akurat

Inilah alasannya, ujar Ari, ODP yang memiliki riwayat kontak harus menunggu dua minggu hingga gejalanya muncul sebelum dapat menjalani rapid test.

Setelah masa inkubasi ini lewat, barulah pasien memasuki fase awal infeksi yang ditandai dengan hasil IgM yang positif dan IgG yang negatif.

Hal ini karena ketika ada infeksi di tubuh, maka yang naik terlebih dahulu adalah IgM. Ketika tubuh mulai membaik, barulah IgG ikut naik.

Lantas, ketika IgM dan IgG sama-sama positif, artinya pasien telah berada pada fase infeksi aktif.

Sementara itu, hasil IgM negatif dan IgG positif menunjukkan fase akhir infeksi atau adanya kemungkinan riwayat bahwa orang tersebut sudah pernah terinfeksi SARS-CoV-2 dan sembuh.

Baca juga: Tes PCR untuk Virus Corona, Benarkah Lebih Efektif Deteksi Covid-19?

Soal rapid test yang dijual online

Terkait maraknya penjualan rapid test secara online, Ari memperingatkan untuk melihat spesifikasi dan sensitivitasnya.

"Kita mesti hati-hati. Pertama, kita harus lihat spesifitasnya itu bagaimana?" ujarnya.

Disampaikan oleh Ari, pada saat ini ada 60-an rapid test yang dijual di pasaran internasional dengan spesifikasi dan sensitivitas yang berbeda-beda.

Masalahnya, ketika alat yang digunakan tidak valid dan timbul hasil false negative (negatif palsu) di mana pasien sebenarnya positif tetapi hasil rapid test menunjukkan negatif, hal ini bisa jadi sangat berbahaya.

Orang yang menerima hasil false negative mungkin akan merasa tidak terinfeksi sehingga tidak melakukan pencegahan penyebaran virus corona.

"Saya tidak merekomendasi rapid test yang tidak jelas," ujar Ari.

Dia pun menambahkan bahwa hingga saat ini, belum ada satu pun rapid test yang diizinkan oleh Pemerintah Indonesia untuk diperjualbelikan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com