Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

1.216 Orang Terjangkit, Ini Alasan Angka DBD di Sikka, NTT Tertinggi

Kompas.com - 13/03/2020, 08:23 WIB
Ellyvon Pranita,
Gloria Setyvani Putri

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Kabupaten Sikka di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi wilayah dengan jumlah kematian tertinggi akibat Demam Berdarah Dengeu (DBD) di awal tahun 2020 ini.

Dalam artikel sebelumnya, Kepala bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan NTT Erlina R Salmun mengatakan, jumlah penderita DBD di provinsi itu mencapai 3.109 jiwa dengan tingkat kematian sebesar 1,19 persen.

Ribuan penderita itu tersebar di 21 kabupaten dan kota di NTT.

Direktur P2P Tular Vektor dan Zoonotik, dr Siti Nadia Tarmizi, M.Epid mengungkap, data hingga Rabu (11/3/2020), angka kasus DBD di Sikka mencapai jumlah 1.216 kasus, dengan kematian 14 orang.

Baca juga: Terus Bertambah, 3.109 Penderita dan 37 Meninggal karena DBD di NTT

Banyaknya kasus dan juga kematian akibat DBD di Sikka terjadi karena berbagai faktor risiko. Berikut beberapa di antaranya seperti disebutkan Nadia:

1. Akses air sulit dan banyak penampungan air

Dikatakan Nadia, Kabupaten Sikka menjadi salah satu wilayah yang akses airnya sulit karena kontur geografisnya.

Oleh sebab itu, banyak masyarakat yang menampung air di rumahnya dalam banyak wadah seperti ember, baskom, dan lainnya.

Tempat penampungan air itu dibutuhkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, salah satunya memasak.

"Ini justru banyaknya (tempat penampungan air) menjadi tempat perindukkan (berkembangbiak) nyamuk," kata Nadia, di Gedung Kemenkes, Rabu (11/3/2020).

Selain tempat penampungan air, sumur yang tidak terawat di sekitar rumah juga dapat menjadi sarang nyamuk Aedes aegypti berkembangbiak.

2. Minim pengolaan sampah

Di halaman luar rumah-rumah warga masih banyak ditemukan tumpukan botol bekas.

Tumpukan tersebut tidak ditimbun dengan tanah, sehingga pada botol ataupun kemasan air mineral yang memiliki celah untuk menampung air, ini juga berpotensi menjadi tempat nyamuk Aedes aegypti berkembang biak.

3. Salah kelola

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com