Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menyoal Aspek Keberlanjutan Industri Konstruksi di Indonesia, serta Implementasi Analisis Daur Hidup

Indonesia mulai memasuki masa transisi dari pandemi Covid-19, yang ditandai dengan pelonggaran kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), yang pada awalnya menjadi tolak ukur kondisi penyebaran virus Covid-19 di seluruh wilayah.

Aktivitas sehari-hari seperti bekerja dan bersekolah sudah mulai berlangsung normal, tanpa ada lagi keharusan mengikuti pembelajaran daring atau bekerja dari rumah, yang mempengaruhi mobilitas masyarakat yang terlihat pada peningkatan operasional transportasi umum, serta penggunaan kendaraan pribadi.

Alhasil, kandungan karbon dioksida di udara meningkat dan membuat Indonesia menduduki peringkat no 1 sebagai negara dengan kualitas udara terburuk di Asia Tenggara.

Bahkan, Jakarta sebagai Ibukota sempat menjadi kota yang memiliki kualitas udara terburuk di dunia.

Padahal, pada tahun 2019, kondisi pandemi dan pemberlakuan PPKM berhasil membuat kualitas udara menjadi lebih bersih.

Polusi udara bukanlah masalah baru yang Indonesia hadapi. Bahkan, hal ini hanya sebagian kecil dari berbagai masalah polusi dan lingkungan yang dihadapi.

Sektor transportasi menjadi sumber polusi terbesar, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta.

Di sisi lain, pembangunan berbagai macam infrastruktur yang digalakkan saat ini tentunya saling bertautan dengan sektor-sektor lainnya dalam satu rantai pasok (supply chain), serta mempunyai dampak emisi dan limbah yang dapat membahayakan lingkungan, jika tidak dikelola dengan baik.

Sebagai contoh, panjang jalan di Indonesia telah mencapai hampir 550.000 km pada tahun 2021 dengan pertumbuhan sebesar 0.32% dibandingkan tahun sebelumnya dan bahkan bertumbuh hingga lebih dari 50% dalam waktu dua dekade (Dataindonesia.id, 2022; katadata.co.id, 2022).

Belum lagi total pembangunan jalan tol pada periode pemerintahan presiden Joko Widodo yang ditargetkan mencapai 4.761 km pada tahun 2024 (CNBC Indonesia, 2022), walau ternyata belum mampu menampung pertumbuhan jumlah kendaraan yang mencapai 7% berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menimbulkan kemacetan akibat over-capacity.

Hanya saja, penelitian menunjukkan, bahwa proses produksi material aspal dan beton untuk konstruksi jalan saja telah menghasilkan dampak lingkungan, utamanya dalam bentuk emisi karbon dioksida hingga mendekati 0.5 ton/ton produksi aspal, serta hampir 1 ton / ton produksi semen untuk beton (Yang et al. 2014; PBL Netherlands Environmental Assessment Agency, 2018).

Data Eurobitume pun menunjukkan, dampak yang lebih jauh dimana produksi 1 ton aspal menghasilkan 0.5 kg senyawa organik yang volatil dan mudah terbakar serta 0.3 kg debu berukuran mikro (Particulate Matter – PM) (Eurobitume, 2022).

Ditambah lagi dengan polusi yang berasal dari kontribusi masyarakat dalam aktivitas sehari-hari, misalnya kebiasaan membakar sampah di udara terbuka, konsumsi daging berlebih, menggunakan produk berbahan plastik tanpa melakukan 3R (reuse, reduce, recycle) dan sebagainya.

Selain itu juga kontribusi dari sektor industri lainnya, yang mengonsumsi bahan bakar fosil, serta menghasilkan emisi (Katadata.co.id, 2022); kombinasi semua faktor ini tentu saja tidak sesuai dengan prinsip dan ide keberlanjutan yang bertujuan untuk mencegah kerusakan pada masa mendatang.

Keberlanjutan (Sustainability) dan Implementasinya di Indonesia

Di sisi lain, isu keberlanjutan (sustainability) telah menjadi perhatian global, secara khusus dalam bentuk perumusan SDGs untuk tahun 2030.

Secara singkat, pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) dapat diartikan sebagai pembangunan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan kita saat ini, tetapi berorientasi pada masa depan dan memerhatikan unsur keberlanjutan, sehingga tidak merugikan/merusak kehidupan generasi penerus (Bruntland, 1987).

Di mana dengan memerhatikan sustainability dalam keseharian, diharapkan mampu mengurangi potensi penyakit bagi manusia dan meningkatkan keberlangsungan makhluk hidup, sehingga dunia kembali menjadi tempat yang layak untuk ditinggali.

Lantas, bagaimana sektor industri konstruksi dapat turut berkontribusi untuk mengatasi permasalahan yang ada?

Sebetulnya hal tersebut sudah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 khususnya untuk mencapai goal ke-12 tentang Konsumsi dan Produksi yang Berkelanjutan.

Pemerintah melalui kebijakannya bergerak dalam hal: (1) Peningkatan kualitas lingkungan hidup agar dapat menopang pelaksanaan pembangunan, (2) Penanganan limbah, (3) Pengembangan industri hijau serta (4) Peningkatan kinerja pengurangan dan penanganan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga termasuk sampah plastik.

Pengembangan industri hijau ditekankan kembali sebagai kebijakan untuk mencapai goal SDGs ke-13 mengenai Penanganan Perubahan Iklim.

Menurut Menteri Perindustrian, industri hijau merupakan perusahaan manufaktur yang dalam proses produksinya mengutamakan upaya efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya secara berkelanjutan.

Prinsip tersebut diyakini mampu menyelaraskan pembangunan industri dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup.

Penerapan kebijakan tersebut diharapkan dapat menjadi solusi untuk menangani permasalahan polusi sebagai salah satu penyebab perubahan iklim (Kemenperin, 2020).

Adapun salah satu bentuk implementasi kebijakan yang dilakukan, yaitu dengan pemberian penghargaan kepada perusahaan yang mendukung konsep green economy, green technology, dan green product sebagai bentuk apresiasi yang diberikan oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin).

Dengan menerapkan industri hijau dapat mengoptimalkan penggunaan sumber daya yang berkelanjutan menjadi lebih efektif dan efisien.

Selain itu, Kemenperin telah mengadopsi metode analisis daur hidup (Life Cycle Assessment – LCA) berdasarkan standar ISO 14040:2006 untuk menjadi rujukan dalam menganalisis secara akurat dampak lingkungan yang dihasilkan dari semua industry, dalam bentuk SNI ISO 14040:2016, dikenal juga dengan istilah PROPER (PROPER, 2021).

LCA merupakan suatu alat yang akurat untuk menggambarkan dampak lingkungan yang tercipta, akibat suatu material yang dapat dianalisis sepanjang alur layannya, mulai dari tahap produksi bahan bakunya hingga penghancuran dan bahkan daur ulang material ini, sehingga bisa tercipta gambaran yang holistis dari hulu ke hilir dari rantai pasoknya.

Selain itu, LCA selama ini sering digunakan sebagai bahan perbandingan untuk bisa mencari opsi solusi yang memberikan dampak minimum, serta menganalisis tahapan hidup suatu material yang paling banyak menghasilkan dampak lingkungan (hotspot).

Sayangnya, hingga April 2022 Menperin mencatat bahwa penerapan industri hijau atau ramah lingkungan baru diterapkan oleh 152 perusahaan dari 16.000 industri yang terdaftar.

Adapun, total penghematan energi sebesar Rp 3.2 triliun dan penghematan air sebesar Rp 169 miliar (Website Kemenperin, 2022).

Dari angka tersebut, kita melihat bahwa hal ini masih menjadi PR kita bersama untuk bisa mewujudkan industri yang berkelanjutan.

Implementasi Konsep Sustainability dan Analisis Daur Hidup di Sektor Konstruksi

Secara spesifik pada industri konstruksi, pemerintah telah menyusun Rencana Strategis (Renstra) Menteri PUPR 2020-2024 serta Peraturan Menteri PUPR No. 9 / 2021 untuk menjadi dasar industri konstruksi yang berkelanjutan, yang menekankan pada pentingnya pembangunan sesuai dengan mutu yang diharapkan, serta fungsi kontrol agar polusi dan emisi yang dihasilkan tidak melebihi ambang baku mutu yang telah ditetapkan.

Hal ini dapat digali dari dokumen-dokumen teknis proyek yang harus dilengkapi para pihak yang terlibat dalam pembangunan tersebut.

Peraturan ini juga membuka kesempatan untuk penggunaan material daur ulang dan ramah lingkungan, material prefabrikasi, serta material yang diambil dari lokasi di sekitar proyek tersebut sesuai dengan semangat dari prinsip keberlanjutan (Lampiran Permen PUPR No. 9 / 2021).

Kita pun dapat melihat penggunaan teknologi Building Information Modelling (BIM) yang sering digaungkan dalam proyek konstruksi, terutama yang berskala besar, sebagai upaya untuk penyeragaman data informasi mengenai struktur yang dibangun, serta menjaga efisiensi penggunaan material serta sumber daya lainnya.

Contoh nyata yang lain adalah pengembangan teknologi semen yang dapat menghemat waktu pengerjaan, serta mengurangi emisi karbon dioksida hingga lebih dari 40% oleh kementerian PUPR bekerjasama dengan PT. Semen Indonesia, Tbk. (Detikcom, 2022).

Akan tetapi, perlu disadari bahwa tantangan ke depannya masih sangat besar, terutama dengan melihat bahwa Indonesia belum memiliki data yang lengkap mengenai emisi dan dampak lingkungan dari seluruh sektor industri nasional.

Hal ini terkait dengan upaya untuk menjalankan aturan SNI 14040:2016 dari Kemenperin, di mana tantangan terbesar dalam aplikasi metode ini adalah tidak adanya data dampak yang lengkap dan terstandarisasi, sehingga setiap analisis harus didasarkan pada sumber data dari negara-negara lain yang memiliki situasi dan kondisi yang berbeda dengan negara kita, ataupun pengambilan data langsung dari lapangan yang tidak efisien.

Maka, selama ini implementasi LCA dalam dunia konstruksi belum begitu terlihat, dan masih cenderung berkutat di ranah riset dan pengembangan, salah satunya seperti hasil riset ITS Surabaya yang membandingkan dampak dari pembangunan 1 kilometer ruas jalan nasional dengan konstruksi beton dan aspal (Fistcar, 2020).

Ini adalah sebuah tantangan, agar seluruh hasil riset ini bisa dihimpun menjadi suatu bank data yang terintegrasi, sehingga analisis ini bisa berjalan bersama dalam suatu sIstem pembangunan, di mana peluang yang besar ke depannya untuk mengintegrasikan LCA serta BIM untuk industry konstruksi yang berkelanjutan (OneclickLCA.com; Najjar, M. et al, 2017)

Tidak hanya itu, semua sektor industri dari hulu ke hilir perlu bersinergi, dimulai dari penggunaan bahan baku yang ramah lingkungan, proses produksi yang menggunakan energi dengan emisi rendah, hingga pengolahan limbah yang dilakukan dengan benar.

Pemerintah, dalam hal ini perlu tegas dalam realisasi kebijakan dan peraturan tentang perindustrian dan pemberdayaan industri.

Sehingga, setiap pelaku industri dapat patuh dan taat akan peraturan yang telah ditetapkan.

Christian Geral Daniel (Dosen Teknik Sipil Universitas Pelita Harapan, awardee beasiswa LPDP, alumni TU Delft) dan Mazmuria Irene Imanuella (Alumni Prodi Administrasi Publik Universitas Katolik Parahyangan)

https://www.kompas.com/sains/read/2022/09/28/090500023/menyoal-aspek-keberlanjutan-industri-konstruksi-di-indonesia-serta

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke