Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Bukan Hanya karena Cuaca, Ini 8 Penyebab Polusi Udara Jakarta

Sementara data Selasa pagi (21/6/2022), pukul 06.33 WIB, Jakarta masih berada di urutan tinggi dengan udara paling berpolusi dengan 154 US AQI, di bawah Beijing (176 US AQI) dan Kuwait (154 US AQI).

Tercatat sejak 15 Juni hingga 21 Juni 2022 kualitas udara secara berturut-turut untuk kota Jakarta, berada di urutan teratas kota dengan polusi tertinggi di dunia pada pengukuran udara di pagi hari.

Berkaitan dengan hal itu, Juru kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu menegaskan, bahwa polusi udara Jakarta telah masuk kategori tidak sehat dalam beberapa hari terakhir.

Berdasarakan data BMKG, ada lonjakan partikel polusi udara dari PM2,5 di Jakarta pada dini hari hingga pagi hari.

Hal itu karena tingginya kelembapan udara, sehingga menyebabkan meningkatnya proses adsorbsi atau perubahan wujud dari gas menjadi partikel atau juga dikenal dengan istilah secondary air pollutants.

“Salah satu penyebabnya memang cuaca, tetapi penyebab utama lainnya adalah masih adanya sumber pencemar udara, yang terbukti belum bisa dikendalikan serius melalui kebijakan yang seharusnya diambil oleh pemerintah,” kata Bondan dalam acara Media Briefing Polusi Udara, Selasa (21/6/2022).

Lebih lanjut Bondan menjelaskan, setidaknya ada delapan penyebab polusi udara di Jakarta, yakni sebagai berikut:

1. Asap knalpot kendaraan
2. Aerosol sekunder
3. Pembakaran batu bara
4. Aktivitas konstruksi
5. Pembakaran terbuka biomasa dan bahan bakar
6. Debu jalan beraspal
7. Partikel tanah tersuspensi
8. Garam laut


Permasalahan lintas batas

Dalam kesempatan yang sama, Fajri Fadhillah Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup ICEL mengungkap, bahwa permasalahan buruknya polusi udara yang terjadi di Jakarta adalah masalah lintas batas.

Menurutnya, sumber-sumber pencemar udara dari luar Jakarta, terutama dari industri dan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara, secara signifikan berkontribusi terhadap memburuknya kualitas udara Jakarta.

“Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) harusnya menjalankan kewajibannya melakukan pengawasan dan supervisi terhadap ketiga Gubernur yaitu Baten, Jawa Barat, dan DKI Jakarta untuk melakukan upaya pengetatan batas ambang emisi untuk seluruh sumber pencemar udara di daerahnya masing-masing," jelasnya.

Pernyataan tersebut didukung oleh Jeanny Sirait, Pengacara Publik LBH Jakarta, bahwa hingga saat ini pemerintah pusat dan pemerintah daerah terkesan lepas tangan dengan buruknya polusi udara beberapa hari belakangan dan hanya menyalahkan cuaca.

“Padahal, September tahun lalu, 32 warga Jakarta bersama Koalisi IBUKOTA telah dimenangkan dalam gugatan warga negara atas polusi udara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat," ujar Jeanny.

"Namun, faktanya, warga ibu kota masih belum bisa menikmati kemenangan tersebut dengan mendapatkan udara bersih,” lanjutnya.

Selain itu, kemenangan warga belum mutlak tercapai, karena adanya proses banding dari pemerintah pusat dan daerah.

"Proses banding ini seolah-olah menjadi celah bagi pemerintah untuk menunda upaya pengendalian polusi udara di DKI Jakarta alias buying time, padahal setiap harinya warga ibu kota bertaruh nyawa untuk bisa menghirup udara bersih," imbuh Jeanny lagi.

Polusi udara Jakarta mengancam kesehatan dan jiwa

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, hasil pantauan konsentrasi PM2,5 di BMKG Kemayoran (Jakarta) menunjukkan bahwa sepanjang Juni 2022 ini, konsentrasi rata-rata PM2.5 berada pada level 41 µg/m³(mikrogram per meter kubik), yang mana ini melebihi nilai ambang batas aman yang direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Kondisi ini tentu mengancam kesehatan masyarakat Jakarta. Berbagai penyakit akibat polusi udara mengintai.

Dalam paparannya Bondan mengatakan, terdapat lebih dari 5,5 juta kasus penyakit yang berhubungan dengan polusi udara di Jakarta pada tahun 2010, di antaranya: Infeksi Pernapasan Akut (ISPA) sejumlah 2.450.000 kasus; jantung koroner sejumlah 1.246.000 kasus.

Sementara, penyakit asma sejumlah 1.211.000 kasus; pneumonia sejumlah 336.000 kasus; bronkopneumonia sejumlah 154.000 kasus; dan penyakit paru obstruktif kronis sejumlah 154.000 kasus.

Bukan hanya itu, data Greenpeace menunjukkan, polusi udara PM 2.5 meningkatkan risiko kematian dini pada 8.700 jiwa, sejak Januari 2021.

Terkait hal tersebut, Bondan merekomendasikan untuk segera melakukan langkah nyata pengendalian sumber pencemar udara, demi melindungi kelompok rentan, baik fisik dan finasial, serta agar taka da lagi kerugian ekonomi akibat polusi udara.

“Pemerintah harus menjalankan perintah hakim dalam putusan pengadilan gugatan polusi udara, dengan berkoordinasi lintas pemerintahan dan administrasi, melakukan kajian ilmiah, juga menggunakan berbagai kajian akademis yang sudah ada untuk mengendalikan sumber pencemaran udara,”pungkasnya.

https://www.kompas.com/sains/read/2022/06/23/201359123/bukan-hanya-karena-cuaca-ini-8-penyebab-polusi-udara-jakarta

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke