Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Perubahan Iklim Bisa Sebabkan Krisis Air Bersih di Indonesia, Ini Penjelasan BMKG

Perubahan pola curah hujan, kenaikan suhu, kenaikan muka air, dan kejadian iklim ekstrem akan menyebabkan krisis air bersih apabila perubahan iklim tidak ditangani secara serius.

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menjabarkan, hasil kajian dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyebutkan, dampak perubahan iklim juga berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi hingga Rp 544 triliun selama 2020-2024, jika intervensi kebijakan tidak dilakukan atau business as usual.

“Secara ekonomi, kerugian sektor air yang dapat dikurangi dengan upaya adaptasi maksimal sebesar Rp 17,77 T selama periode 2020-2024,” kata Dwikorita melalui keterangan tertulis yang dikutip Kompas.com, Rabu (23/2/2022).

Dwikorita menyampaikan, krisis air bersih terjadi akibat tingginya kebutuhan air baku, terutama di kawasan perkotaan dan padat penduduk.

Sedangkan, perubahan iklim mengakibatkan kekeringan dan pencemaran air yang memengaruhi ketersediaan air bersih yang dibutuhkan masyarakat untuk air minum dan sanitasi.

Adapun dalam Rancangan Teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 yang dikeluarkan Kementerian PPN/Bappenas, kelangkaan air di Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara diperkirakan meningkat hingga 2030. Proporsi luas wilayah krisis air meningkat dari 6 persen di tahun 2000 menjadi 9,6 persen di tahun 2045.

"Air tidak hanya dibutuhkan untuk rumah tangga, namun juga industri dan pertanian. Karena permintaannya lebih besar dari ketersediaan, maka krisis air pun terjadi. Penurunan tidak hanya dari sisi kuantitas, namun juga kualitas air yang selanjutnya berpengaruh terhadap kesehatan," papar Dwikorita.

Kenaikan suhu udara

Dwikorita menambahkan, tren kenaikan suhu udara di Indonesia terjadi di sebagian besar wilayah.

Berdasarkan data observasi BMKG (1981-2020) menunjukkan, tren positif dengan besaran yang bervariasi dengan nilai sekitar 0,03 derajat celcius setiap tahunnya, sehingga dalam 30 tahun estimasi kenaikan suhu udara akan bertambah sebesar 0,9 derajat celcius.

Untuk wilayah Indonesia secara keseluruhan, lanjut dia, tahun 2016 merupakan tahun terpanas dengan nilai anomali sebesar 0,8 derajat celcius sepanjang periode pengamatan 1981 hingga 2020.

Adapun tahun 2021, menempati urutan ke-8 tahun terpanas dengan nilai anomali sebesar 0,4 derajat celcius, sedangkan tahun 2020 dan 2019 berada di peringkat kedua dan ketiga dengan nilai anomali sebesar 0,7 derajat celcius dan 0,6 derajat celcius.

"Perlu juga diwaspadai terkait ancaman bencana hidrometeorologi. Selain intensitas hujan yang semakin meningkat akibat perubahan iklim, juga kejadian curah hujan ekstrem diprediksi makin sering dengan durasi yang semakin lama, yang memicu terjadinya bencana hidrometeorologi," tutur Dwikorita.

"Bencana hidrometeorologi ini mencapai 98 persen dari kejadian bencana yang terjadi di Indonesia. Realitas tersebut perlu diantisipasi dengan aksi nyata bersama seluruh elemen masyarakat, tidak hanya pemerintah," jelasnya.


Permasalahan sumber daya air di Indonesia

Staf ahli Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Bidang Sumber Daya Air Firdaus Ali, mengatakan terdapat sejumlah permasalahan sumber daya air di Indonesia.

Permasalahan tersebut seperti adanya kendala akses air bersih, belum meratanya pengelolaan terpadu limbah domestik, kekeringan atau melimpahnya air (banjir), krisis air bersih, genangan banjir, ancaman rob, dan lainnya.

Dalam mengatasi hal tersebut, diperlukan pengambilan keputusan yang cepat dan berani mengambil risiko sehingga tidak terjadi krisis air bersih.

Selain itu, perlu pelaksanaan yang didukung kerja tim yang solid, pengawasan infrastruktur yang dibangun supaya dipelihara sesuai standar dan pengawasan detail dan konsisten.

Secara terpisah, Direktur Jenderal SDA Kementerian PUPR Jarot Widyoko menuturkan bahwa persoalan sumber daya air menjadi perhatian bersama.

Salah satu yang menjadi sorotan adalah banyaknya air hujan yang tidak diserap ke dalam tanah, tetapi dibuang ke selokan.

Infrastuktur masyarakat, ujar Jarot, belum berorientasi pada penyerapan air hujan ke dalam tanah, sehingga air dibuang ke selokan dan menuju hilir dengan cepat tanpa diserap tanah. Seiring dengan hal tersebut, daerah resapan air tidak pernah bertambah bahkan berkurang.

"Hujan tidak diserap, sungai tidak bertambah lebar. Tampungan air berkurang karena air menuju selokan," kata dia.

Terdapat tantangan besar dalam membuat infrastruktur tangguh perubahan iklim. Pembangunan harus mengikuti arah perubahan iklim dan laju perubahan tata guna lahan, sehingga krisis air bersih tidak terjadi seiring menyempitnya kawasan resapan air.

"Kalau kita diam maka dapat terjadi bencana. Untuk menghadapi tantangan perubahan iklim, dibutuhkan kualitas udara dan air yang lebih baik, koordinasi multisektor, keterlibatan sektor swasta dalam penguatan ketahanan infrastruktur," jelas Jarot.

BMKG, Kementerian PUPR, serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral akan melakukan sejumlah kolaborasi, seperti identifikasi jenis data dan informasi iklim yang relevan untuk desain infrastruktur sumber daya air.

Hal tersebut meliputi revitaliasi Sistem Informasi Hidrometeorologi, Hidrologi dan Hidrogeologi (SIH3) dengan menambahkan parameter berbasis DAS yang terintegrasi dengan perubahan iklim, penyampaian karakteristik kondisi iklim terkini dan proyeksi iklim 100 tahun kedepan beserta potensi dampaknya, serta penyampaian sistem tata kelola Sumber Daya Air (SDA) dan kebutuhan masa depan.

Selanjutnya, analisis komprehensif pengaruh perubahan iklim terhadap potensi serta tren dan karakteristik mitigasi bencana hidrometeorologi (Kajian Hidro-klimatologi) termasuk pilihan adaptasi tata kelola air masa depan, serta mengintegrasikan parameter perubahan iklim di dalam perencanaan dan desain infrastruktur sumber daya air.

"Untuk mengakselerasi rencana aksi tersebut, maka perlu dibentuk tim kerja untuk melaksanakan kajian di tingkat nasional sebagai tindak lanjut Peraturan Presiden Nomor 98 tahun 2021 dan tim kerja tingkat lokal terutama untuk wilayah prioritas," papar Dwikorita.

Selain itu, ujarnya, diperlukan dorongan Balai Besar Wilayah Sungai / Balai Wilayah Sungai Kementerian PUPR serta Balai Besar Wilayah BMKG dan Stasiun BMKG untuk segera berkoordinasi di wilayah masing-masing di berbagai daerah di Indonesia dengan pihak terkait, untuk menindaklanjuti dan menyusun SOP bersama dalam mewujudkan tata kelola air yang terpadu.

https://www.kompas.com/sains/read/2022/02/23/180300923/perubahan-iklim-bisa-sebabkan-krisis-air-bersih-di-indonesia-ini

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke