Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Belajar dari Kakek Tewas akibat Diteriaki Maling, Dibutuhkan 2 Hal Ini untuk Mencegah Perilaku Main Hakim Sendiri

Peristiwa yang terjadi di Jalan Pulo Kambing Raya, Cakung, Jakarta Timur ini sempat viral di berbagai platform media sosial, sampai akhirnya diselidiki oleh kepolisian.

Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Endra Zulpan mengungkapkan, polisi sudah melakukan penyelidikan dengan melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) dan memeriksa 14 orang saksi. 

Dari 14 orang saksi tersebut, disebutkan bahwa tersangka utama adalah pemuda berinisial R.

R diduga memprovokasi pengendara lain dengan berteriak maling karena tersenggol oleh kendaraan korban.

"Ini yang diakui oleh pemilik motor (tersangka) yang diserempet tersebut. Pemilik motor yang tersenggol tersebut mengakui memprovokasi dengan teriakan maling," jelas Zulpan.

Akibatnya, kata Zulpan, pengendara lain yang berada di sekitar lokasi kejadian berusaha mengejar HM, sampai akhirnya berujung aksi pengeroyokan. 

"Sehingga mengakibatkan orang-orang di sekitar berempati dan mengejar secara beramai-ramai dengan menggunakan motor terhadap pengemudi Toyota Rush tersebut," ungkap Zulpan.

Kejadian main hakim sendiri yang berujung pengeroyokan dan bahkan kematian, bukan hanya kali ini terjadi.

Hal ini pun diakui oleh Sosiolog Universitas Gadjah Mada, A.B Widyanta. Saat dihubungi Kompas.com, Selasa (25/1/2022), Abe sapaan akrab A.B Widyanta ini mengatakan, fenomena main hakim sendiri oleh massa ini memang semakin sering terjadi di masyarakat kita.

Lebih sering lagi, hal ini terjadi di masyarakat urban atau semi urban.

Kohesi dan solidaritas sosial yang semakin longgar dalam masyarakat urban menyebabkan anonimitas dan impersonalitas dalam tindakan sosial maupun hubungan sosial di masyarakat, dan membuat mereka melakukan tindakan nekat tanpa perasaan, tidak pandang bulu, sertat tanpa basis kesadaran dan rasi.

Selain itu, Abe juga menyebutkan bahwa fenomena main hakim sendiri ini merupakan efek dari psikologi massa yang tengah mengamuk itu memiliki kecenderungan relatif sulit untuk mengontrol dan mengendalikan, kemarahan dan frustasi sosial yang ada.

"Bisa jadi, penganiayaan dan main hakim itu dijadikan momentum bagi penyaluran kekesalan dan amarah sosial massa," kata Abe.


Lantas, apa yang bisa dilakukan seseorang untuk tidak ikut-ikutan main hakim sendiri saat ada peristiwa yang heboh terjadi di depan mata?

Sementara itu, Abe juga mengaku tidak mudah untuk memberikan saran agar kita dapat menjaga diri agar tidak ikut-ikutan main hakim saat ada peristiwa yang heboh terjadi di depan mata kita.

"Menurut saya, agak sulit memberikan pemahaman untuk mengontrol emosi dalam situasi amok (amuk) massa begitu. Karena itu solusi yang sangat personal dan behavioristik," jelasnya.

Oleh karena itu, kata Abe, ada dua hal yang dibutuhkan agar persoalan mengontrol emosi dalam situasi amuk massa ini tidak banyak terjadi lagi di kemudian hari.

1. Pendidikan publik

Abe menjelaskan, pendidikan publik menjadi penting agar setiap individu bisa mengontrol dan mengendalikan diri, di banyak situasi termasuk kejadian atau hal-hal yang memancing diri untuk melampiaskan kekesalan yang terpendam dari masalah lain.

Pendidikan publik bisa dilakukan melalui diseminasi nilai-nilai politik kewargaaan, kemanusiaan, dan keadilan.

"Intinya perlu pendidikan publik yang holistik," kata dia.

2. Perbaikan pelayanan publik

Hal kedua yang dibutuhkan agar peristiwa serupa yang dialami kakek HM ini tidak terjadi lagi adalah perbaikan pelayanan publik.

"Perbaikan pelayanan publik secara holistik agar warga negara menjadi manusia yang seutuhnya, sehingga warga negara trustful (penuh percaya) pada para penyelenggara negara, sehingga tidak main hakim sendiri," kata dia. 

Dengan begitu, Abe menegaskan, bahwa tidak ada solusi mujarab untuk mencegah atau mengontrol massa tidak main hakim sendiri terhadap suatu persoalan di depannya.

"Rutenya panjang. Aparat negara juga perlu berbenah dengan maraknya kasus-kasus main hakim sendiri semacam itu," ucap dia.

"Itu artinya ruang publik kita telah masuk dalam pusaran spiral kekerasan melalui amok massa, main hakim sendiri," pungkasnya.

https://www.kompas.com/sains/read/2022/01/26/173000723/belajar-dari-kakek-tewas-akibat-diteriaki-maling-dibutuhkan-2-hal-ini

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke