Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Penyebab Letusan Gunung Krakatau 1883 dan Anak Krakatau 2018, Studi Ungkap Perbedaannya

KOMPAS.com - Gunung Anak Krakatau tengah menjadi perbincangan hangat di seluruh dunia. Mengingat gunung api ini masih aktif sampai sekarang, dan sempat mengguncang dunia karena letusan dahsyat yang terjadi pada tahun 1883 dan 2018.

Krakatau atau Krakatoa dalam bahasa Inggris adalah gunung berapi yang masih aktif dan terletak di Pulau Rakata, yang berada di perairan Selat Sunda, antara Pulau Jawa dan Sumatera.

Meskipun dua kali terjadi letusan yang besar, ternyata penyebab ledakan dahsyat kedua peristiwa itu berbeda. Berikut penjelasan ahli.

1. Letusan Gunung Krakatau 1883

Sejarah Gunung Krakatau telah dikenal dunia sejak letusan terbesarnya pada 1883. Dikutip Harian Kompas (26/1/2018), letusan itu merupakan yang terkuat dalam sejarah, dengan level 6 skala Volcanic Explosivity Index (VEI).

Letusan itu hanya kalah dari letusan skala 7 Gunung Tambora pada 1815 dan letusan skala 8 Gunung Toba di Sumatera Utara, 74.000 pada 2017.

Letusan Gunung Krakatau disebut berkekuatan 21.574 kali daya ledak bom atom meleburkan Hiroshima (De Neve, 1984).

Akibat letusan Gunung Krakatau, tak hanya melenyapkan Pulau Krakatau, tetapi letusan dahsyat gunung berapi itu menghancurkan kehidupan di pesisir Banten dan Lampung.

Kengeriannya dilukiskan catatan pribumi, seperti "Syair Lampung Karam" yang ditulis Muhmmad Saleh dan catatan kolonial.

Diberitakan Harian Kompas (27/8/1981), letusan itu terjadi pada 27 Agustus pukul 10.52 pagi. Letusannya terdengar hingga Singapura dan Australia. 

Sedikitnya 36.417 orang meninggal dan hilang terseret gelombang atau tertimbun bahan letusan yang dimuntahkan gunung tersebut. 

Letusan gunung api yang dahsyat itu merupakan puncak dari rangkaian ledakan yang terjadi sejak 20 Mei 1833. 

Ketika itu Anak Krakatau meletus dengan memuntahkan abu gunung api dan uap air yang dilontarkan ke udara setinggi 11 km dari Kawah Perbuatan.

Suara ledakan saat Gunung Anak Krakatau meletus saat itu terdengar hingga 200 km. Intensitas bertambah pada tanggal 26 Agustus dan mencapai puncaknya pada Senin 27 Agustus. 

Saat 27 Agustus itu batu dan abu halus dihembuskan ke angkasa. Tingginya mencapai 70-80 km dan mengakibatkan gangguan cuaca dunia beberapa tahun kemudian.

Sinar matahari tidak mampu menembus abu gunung api yang terlontar ketika itu, sehingga bagian selatan Pulau Sumatera dan Jawa menjadi gelap gulita. Endapan material vulkanik yang dimuntahkan Krakatau juga menutup daerah seluas 827.000 km persegi. 

Letusan-letusan lumpur terjadi September dan Oktober 1833 sampai Februari 1884. Kemudian tiba masa tenang selama 44 tahun, hingga munculnya Anak Krakatau baru pada Agustus 1930. 

Gunung Anak Krakatau inilah yang dikenal hingga sekarang.

Penyebab letusan Gunung Krakatau 1883

Ahli Geologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Mirzam Abdurrachman mengatakan, ternyata secara proses terjadinya ledakan besar di Gunung Krakatau tersebut berbeda dari kejadian pada tahun 1883 dan 2018.

Saat Gunung Krakatau meletus tahun 1883, penyebab atau pemicu utama adalah terjadinya ledakan besar yang merupakan aktivitas vulkanik dari dalam gunung itu sendiri.

Maksudnya, letusan besar yang terjadi itu memang berdasarkan proses magmatisme, di mana ada pergerakan endapan magma di dalam perut bumi dari kedalaman dangkal menuju permukaan, karena adanya dorongan gas yang bertekanan tinggi.

Dorongan magma yang bentuknya cari dan berpijar itu akan keluar ke permukaan bumi melalui rekahan dalam kerak bumi.

Pergerakan magma ini bisa dideteksi dengan metode atau istrumen pengamatan seperti seismometer.

2. Letusan Gunung Anak Krakatau 2018

Erupsi Gunung Anak Krakatau kembali terjadi. Pada Sabtu (22/12/2018), Gunung Anak Krakatau meletus yang diduga menjadi salah satu penyebab tsunami Selat Sunda.

Berdasarkan keterangan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), lebih dari 400 orang meninggal dalam bencana letusan tersebut. Sementara, 7.000 orang lainnya terluka dan hampir 47.000 orang mengungsi dari rumah mereka.

Diketahui pula bahwa rata-rata Gunung Anak Krakatau bertambah tinggi 4-6 meter per tahun. Ketinggian Gunung Anak Krakatau mencapai lebih dari 300 meter di atas permukaan laut.

Pada awalnya kejadian Gunung Anak Krakatau meletus ini diduga disebabkan oleh aktivitas vulkanik, sama dengan kejadian pada tahun 1883.

Mirzan menceritakan, sebelum terjadinya ledakan dahsyat tahun 2018 ini, sebenarnya ITB dan Universitas Oxford pada tahun 2017 tengah menginisiasi penelitian terhadap Gunung Anak Krakatau tersebut.

Dalam perjalanan inisiasi studi ini, banyak mahasiswa dari kedua universitas ini yang terlibat, juga berbagai institusi lainnya seperti British Geological Survey, Universitas College London, Universitas Birmingham, University of Southampton, University of Rhode Island, dan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG).

Penyebab letusan Gunung Anak Krakatau 2018

Hasil studi tak hanya memetakan kembali Gunung Krakatau secara geologi sebelum dan pasca letusan tahun 2018.

Peneliti juga menemukan penyebab letusan besar yang terjadi pada tahun 2018 itu tidak sama dengan pemicu ledakan dahsyat saat Gunung Krakatau meletus di tahun 1883.

Ledakan atau erupsi yang terjadi di Gunung Anak Krakatau pada 2018 tidak diawali oleh letusan vulkanik atau magma di dalam gunung api tersebut yang lantas memicu gelombang tsunami, tetapi, justru terjadi akibat adanya longsor.

"Longsor itu yang kemudian menghasilkan tsunami. Longsor itu menyebabkan juga kawahnya terbuka dan magmanya berinteraksi sama air, baru terjadi letusan besar," jelasnya.

"Jadi prosesnya berbeda, letusan besarnya itu di belakang (untuk ledakan Gunung Anak Krakatau) 2018," tambahnya.

Ini merupakan hasil dari pemeriksaan material vulkanik dari pulau-pulau terdekat, dan melihat karakteristik fisik, kimia serta mikroteksturnya. 

Para peneliti mencari petunjuk dengan menggunakan materila vulkanik yang ada untuk menentukan apakah letusan kuat dan eksplosif yang diamati sesaat setelah keruntuhan itu memicu tanah longsor dan tsunami.

Disimpulkan bahwa letusan eksplosif besar yang terkait dengan keruntuhan justru disebabkan oleh sistem magmatik yang menjadi tidak stabil sesaat setelah longsoran berlangsung.

Artinya, sangat kecil kemungkinannya, bencana di penghujung 2018 lalu disebabkan oleh magma yang memaksa naik ke permukaan dan memicu tanah longsor.

Hal ini juga disebutkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral (litbang ESDM).

Litbang ESDM menginformasikan, hasil shallow multi beam di area laut penyebab timbulnya tsunami tersebut menunjukkan terdapatnya material vulkanik baru hasil longsoran dengan morfologi hummocky atau bukit-bukit kecil berbentuk tidak beraturan indikasi material longsoran.

Metode pemantauan gunung berapi saat ini merekam aktivitas seismik dan sinyal lain yang disebabkan oleh magma yang naik melalui gunung berapi.

Namun peristiwa Gunung Anak Krakatau meletus tahun 2018 ini tidak dipicu dari dalam melainkan dari luar yaitu hilangnya tubuh gunung secara tiba-tiba, maka tidak akan terdeteksi menggunakan teknik yang ada saat ini.

Hal itu dapat terjadi tanpa perubahan khas dalam aktivitas magmatik di gunung berapi. Ini berarti fenomena tersebut dapat terjadi secara tiba-tiba dan tanpa peringatan yang jelas.

Dengan begitu, untuk letusan Gunung Anak Krakatau tahun 2018, diakui Mirzam menjadi cukup sulit untuk dideteksi.

Hal ini dikarenakan, magma di gunung tersebut masih berada di kedalaman yang cukup dalam ketika letusan terjadi.

https://www.kompas.com/sains/read/2022/01/21/160200223/penyebab-letusan-gunung-krakatau-1883-dan-anak-krakatau-2018-studi-ungkap

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke