Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Orbit Bumi Berfluktuasi Pengaruhi Evolusi, Ilmuwan Temukan Buktinya

KOMPAS.com - Ilmuwan menemukan, dalam studi baru, bahwa orbit Bumi mengalami fluktuasi. Bukti baru yang ditemukan menunjukkan orbit Bumi yang berfluktuasi tersebut mempengaruhi evolusi biologis organisme di planet ini.

Dilansir dari Science Alert, Kamis (2/12/2021), meski tampak teratur mengorbit Matahari, ternyata orbit Bumi tidak stabil seperti yang diketahui selama ini.

Orbit Bumi setiap 405.000 tahun, membentang dan menjadi 5 persen membentuk elips, sebelum kembali ke jalur yang lebih rata.

Para ilmuwan mengungkapkan bahwa mereka telah sejak lama memahami siklus dari orbit Bumi ini, yang dikenal sebagai eksentrisitas orbit. Hal ini yang kemudian mendorong perubahan iklim global.

Akan tetapi, bagaimana fluktuasi orbit Bumi ini memengaruhi kehidupan di planet kita, belum dapat diketahui.

Bukti dampak fluktuasi orbit Bumi

Namun, sekarang bukti baru menunjukkan bahwa orbit Bumi yang berfluktuasi sebenarnya dapat memengaruhi evolusi biologis.

Bukti itu ditemukan tim ilmuwan yang dipimpin oleh paleoceanographer Luc Beaufort dari French National Centre for Scientific Research (CNRS), Perancis.

Mereka telah menemukan petunjuk bahwa eksentrisitas dari orbit Bumi yang berfluktuasi itu dapat mendorong ledakan evolusi spesies baru, setidaknya pada plankton dari berbagai fotosintesis (fitoplankton).

Salah satunya, Coccolithophores, yakni ganggang mikroskopis pemakan sinar matahari yang membuat lempengan batu kapur di sekitar tubuh seluler tunggal mereka yang lembut.

Cangkang batu kapur yang disebut coccolith, sangat lazim ditemukan dalam catatan fosil di Bumi. Pertama kali, fosil cangkang kapur ini muncul pada sekitar 215 juta tahun yang lalu selama periode Upper Triassic.

Drifter samudra ini sangat melimpah, sehingga memberi kontribusi besar terhadap siklus nutrisi ini Bumi.

Beaufort dan timnya melakukan pengukuran yang mengejutkan pada 9 juta coccolith selama 2,8 juta evolusi Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, menggunakan bantuan mikroskop otomatis berbasis artificial intelligence (AI).

Sampel yang diteliti untuk mengungkapkan bukti orbit Bumi berfluktuasi ini adalah sedimen laut yang tertanggal dengan baik, sehingga mereka dapat memperoleh resolusi yang sangat rinci pada sekitar 2.000 tahun.

Para peneliti dapat menggunakan rentang ukuran coccolith untuk memperkirakan jumlah spesies.

Sebab studi genetik sebelumnya telah mengkonfirmasi spesies yang berbeda dalam keluarga coccolithophores, Noelaerhabdaceae yang dapat dibedakan dari ukuran sel mereka.

Panjang rata-rata coccolith tersebut mengikuti siklus reguler sejalan dengan siklus eksentrisitas orbit Bumi setiap 405.000 tahun.

Sementara ukuran rata-rata coccolith yang terbesar, muncul dengan sedikit jeda waktu setelah siklus eksentrisitas orbit Bumi yang tertinggi.

Kondisi ini terlepas dari apakah Bumi mengalami keadaan glasial maupun interglasial.

"Di laut modern, keanekaragaman fitoplankton tertinggi ditemukan di pita tropis, pola yang mungkin terkait dengan suhu tinggi dan kondisi stabil, sedangkan pergantian spesies musiman tertinggi di pertengahan garis lintang, karena kontras suhu musiman yang kuat," jelas Beaufort dan rekannya dalam makalah mereka.

Pola yang ditemukan ini sama dan tercermin dalam skala waktu yang besar. Saat orbit Bumi menjadi lebih elips, maka musim di sekitar garis ekuator menjadi lebih jelas.

Kondisi yang lebih beragam ini mendorong coccolithophores untuk melakukan diversifikasi ke lebih banyak spesies.

Para ilmuwan menambahkan bahwa keragaman ceruk ekologi yang lebih besar, yakni ketika musiman tinggi mengarah ke jumlah spesies yang lebih banyak.

Sebab, adaptasi Noelaerhabdaceae ditandai dengan penyesuaian ukuran coccolith dan tingkat kalsifikasi untuk berkembang di lingkungan baru.

Fluktuasi orbit Bumi dan perubahan iklim

Fase evolusi terbaru yang terdeteksi dari fluktuasi orbit Bumi, dimulai sekitar 550.000 tahun yang lalu. Periode itu merupakan peristiwa radiasi di mana spesies Gephyrocapsa baru muncul.

Beaufort dan timnya mengkonfirmasi interpretasi ini menggunakan data genetik pada spesies yang hidup saat ini.

Dengan menggunakan data dari kedua lautan, yakni Samudra Hindia dan Samudra Pasifik tersebut, para ilmuwan ini juga dapat membedakan antara peristiwa lokal dan global.

Selain itu, dengan menghitung tingkat akumulasi massa dalam sampel sedimen lautan, para peneliti dapat menguraikan potensi dampak morfologis spesies yang berbeda terhadap siklus karbon Bumi.

Dalam makalahnya, tim menulis bahwa spesies yang lebih ringan, misalnya, E. huxleyi dan G. caribbeanica, telah berkontribusi besar terhadap ekspor karbonat coccolith.

Hal itu menjelaskan bahwa saat spesies oputunistik berukuran menengah mendominasi, maka ada lebih sedikit karbon yang disimpan melalui cangkang dari hewan yang mati di kedalaman.

Studi yang dilakukan Beaufort dan timnya ini menyarankan jeda yang tampak antara eksentrisitas orbit Bumi dan perubahan iklim, yang mengisyaratkan bahwa coccolithophores dapat mendorong perubahan siklus karbon Bumi.

Artinya, organisme yang sangat kecil ini, bersama fitoplankton lainnya, dapat membantu mengubah iklim Bumi sebagai respons terhadap peristiwa fluktuasi orbit Bumi tersbeut.

Akan tetapi, studi tentang dampak fluktuasi orbit bumi terhadap evolusi biologis di planet yang kita tinggali ini, telah dipublikasikan di jurnal Nature, namun ilmuwan menilai masih diperlukan studi lanjutan di masa depan.

https://www.kompas.com/sains/read/2021/12/03/080000623/orbit-bumi-berfluktuasi-pengaruhi-evolusi-ilmuwan-temukan-buktinya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke