Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Fajar Semu, Fajar Nyata, dan Waktu Subuh Indonesia (3)

Pada bagian sebelumnya telah diketahui Lembaga Falakiyah PBNU berpendapat cahaya fajar–nyata yang menjadi penanda awal waktu Subuh dan awal berpuasa adalah munculnya cahaya fajar–nyata samar.

Yaitu, berkas cahaya selain cahaya fajar–semu dan mulai muncul tepat di kaki langit timur meskipun samar–samar.

Intensitasnya demikian rendah sehingga kita belum bisa mengenali siapapun di samping kita.

Menjadi bagian dari kajian ilmu falak untuk menurunkan deskripsi kualitatif demikian ke dalam besaran angka kuantitatif, yang merepresentasikan sudut depresi Matahari (SDM) bagi munculnya cahaya fajar–nyata samar.

Sejumlah ahli falak yang tergabung dalam Tim Kajian Awal Waktu Subuh Lembaga Falakiyah PBNU merupakan pelopor dalam bidangnya.

Misalnya saja Dr. Nihayatur Rohmah, salah satu ahli falak perempuan generasi pertama sekaligus pelopor pengamatan cahaya fajar–nyata berbasis kamera digital.

Selimut udara Bumi kita bersifat optis, sehingga mampu membiaskan, menghamburkan, dan menyerap berkas sinar Matahari.

Atmosfer adalah medium bening yang berlapis–lapis dengan kerapatan berbeda–beda untuk setiap lapisan.

Tiap lapisan memiliki indeks biasnya sendiri. Maka persentuhan antar lapisan yang membentuk keseluruhan atmosfer membuat seberkas cahaya akan terbiaskan kala melaluinya.

Berkas cahaya datang dari ruang angkasa akan dibiaskan mendekati garis normal. Sehingga, berkas sinar Matahari dapat tiba pada sebuah titik di paras Bumi, meskipun kedudukan Matahari masih jauh di bawah kaki langit timur.

Sedangkan, kemampuan atmosfer dalam menghamburkan berkas cahaya Matahari ditopang oleh molekul–molekul (Nitrogen dan Oksigen) serta partikulat mikro.

Manakala berkas sinar Matahari melewati kumpulan molekul atau partikulat mikro, terjadilah hamburan elastis yang didominasi hamburan Rayleigh dan hamburan Mie.

Sebagai hasilnya maka langit fajar nampak kekuning–kuningan hingga kemerah–merahan di sekitar kaki langit dan kebiru–biruan di ketinggian.

Jika di atas ufuk terdapat sebaran awan tipis, maka hamburan Mie menyebabkan bagian yang ditutupi awan berwarna keabu–abuan hingga keputih–putihan.

Dan kemampuan atmosfer Bumi dalam menyerap berkas sinar Matahari disebabkan molekul tertentu, terutama Ozon.

Molekul Ozon menyerap berkas cahaya Matahari demikian rupa, sehingga lebih melalukan komponen cahaya biru dibanding komponen lain.

Kombinasi faktor pembiasan, hamburan dan serapan itulah yang melahirkan cahaya fajar–nyata menjelang Matahari terbit.

Fajar–semu

Kita harus membedakan antara cahaya fajar–nyata dengan fajar–semu meski keduanya sama–sama hadir di kaki langit timur.

Berdasarkan kajian Lembaga Falakiyah PBNU maka cahaya fajar–nyata merupakan cahaya sangat tipis yang berimpit dengan kaki langit untuk kemudian kian melebar (secara mendatar) dan menebal (secara vertikal) sembari bertambah terang seiring waktu.

Sedangkan, cahaya fajar–semu hadir sebelum fajar–nyata. Intensitasnya lebih lemah ketimbang fajar–nyata dan dapat disetarakan dengan kecerlangan selempang galaksi Bima Sakti.

Cahaya fajar–semu membentuk struktur mirip segitiga yang garis tingginya menjulang sepanjang ekliptika.

Meskipun intensitas cahaya fajar–semu juga meningkat perlahan seiring waktu, tidak pernah seterang cahaya fajar–nyata.

Saat cahaya fajar–nyata samar tepat telah muncul terbit, maka terjadi tumpang tindih dengan cahaya fajar–semu.

Untuk kemudian cahaya fajar–nyata kian mendominasi dan sebaliknya cahaya fajar–semu memudar dengan cepat.

Jika cahaya fajar–nyata samar berasal dari sinar Matahari yang telah termodifikasi demikian rupa dalam atmosfer Bumi, maka cahaya fajar–semu merupakan produk pemantulan baur sinar matahari terhadap debu–debu antarplanet yang terkonsentrasi di sekitar ekliptika.

Sumber debu antarplanet ini beragam, mulai dari produk emisi komet–komet yang mendekati Matahari hingga aktivitas badai global Mars.

Pentingnya kedudukan cahaya fajar–semu dapat dilihat pada ungkapan Hendro Setyanto, M.Si, astronom edukator sekaligus Wakil Ketua Lembaga Falakiyah PBNU.

Mencoba mengamati cahaya fajar–nyata, tanpa mengelaborasi aspek–aspek yang melingkupi dan terkait dengannya seluas mungkin ibarat orang buta menganalisa gajah.

Maka hendaknya perlu menganalisa dengan seksama, tak terkecuali dengan cahaya fajar–semu.

Teks–teks sabda Nabi SAW secara tidak langsung mengindikasikan perlunya mengenali kemunculan cahaya fajar–semu dalam mengkaji cahaya fajar–nyata.


Pola linear dan eksponensial

Dalam sebagian besar sejarah ilmu falak, pengamatan cahaya fajar–nyata dan fajar–semu mengandalkan ketajaman mata dalam mendeteksi perubahan intensitas cahaya langit.

Mata merupakan alat optik dengan bukaan rana 6 mm dan kecepatan rana 1/15 hingga 1/10 detik.

Di masa kini pengamatan dapat pula dilaksanakan dengan instrumen yang dapat diatur setara mata, misalnya kamera digital dan pengukur kecerlangan langit seperti sky quality meter (SQM).

Kamera digital dapat merekam langit timur secara konsisten dalam durasi cukup panjang dan mengambil citra tiap beberapa saat sesuai pengaturan.

Dengan metode olah–foto maka nilai intensitas cahaya langit untuk satu waktu bisa diperoleh.

Adapun SQM, sebagai sebuah alat ukur menghasilkan nilai intensitas cahaya langit untuk satu waktu secara langsung. Seperti halnya kamera digital, maka SQM juga dapat bekerja untuk durasi cukup panjang.

Nilai–nilai intensitas cahaya langit yang diproduksi lantas diurutkan dari waktu ke waktu berikutnya, sehingga membentuk kurva cahaya kecerlangan langit (sky brightness).

Temuan yang menarik, dalam kurva ideal (yakni pada saat cahaya fajar–semu terdeteksi mata) ternyata terdapat peningkatan intensitas cahaya langit yang membentuk pola linear.

Pola linear ini berakhir dengan terbentuknya pola eksponensial peningkatan intensitas cahaya langit, yang diinterpretasikan sebagai tipikal cahaya fajar–nyata.

Perubahan pola dalam peningkatan intensitas cahaya dari semula pola linear menjadi pola eksponensial disebut titik belok fajar (TBF).

Titik belok fajar diinterpretasikan sebagai titik dimana cahaya fajar–nyata samar tepat mulai muncul.

Kurva ideal menjadi penanda bahwa lokasi dan saat pengamatan bersifat ideal. Yakni lokasi yang betul–betul gelap dan tak ada gangguan sumber cahaya lain di langit setempat.

Sedangkan, apabila cahaya fajar–semu tidak terdeteksi mata, maka kurva yang terbentuk bersifat tak ideal.

Dalam kurva tak ideal itu tetap dijumpai pola eksponensial khas cahaya fajar–nyata. Juga dijumpai titik belok dari kondisi latar–belakang (pola malam) menjadi pola eksponensial tanpa kehadiran pola linear.

Titik belok ini disebut titik belok kurva (TBK) dan menjadi tolok ukur kualitas lokasi pengamatan.

Apabila nilai TBK akan sangat dekat dengan nilai TBF, maka lokasi dan/atau saat pengamatan diinterpretasikan mendekati ideal.

Namun, apabila nilai TBK berbeda signifikan atau bahkan cukup jauh terhadap nilai TBF, patut diduga lokasi pengamatan mengalami gangguan. Baik dari sumber cahaya pengganggu setempat maupun dinamika atmosfer.

Lembaga Falakiyah PBNU menyimpulkan, bahwa identifikasi cahaya fajar–semu merupakan faktor penting dalam pengamatan cahaya fajar–nyata samar guna mendeduksi awal waktu Subuh.

Jika cahaya fajar–semu tidak terdeteksi, maka kondisi lokasi harus sedemikian rupa, sehingga hasil pengamatannya mendekati kurva ideal.

Sebab dalam ilmu falak, data dan analisis matematis (pemodelan) akan bermakna hanya jika terdapat argumen fisika yang melandasinya.

Dengan kata lain, memasukkan segenap data pengamatan tanpa hirau apakah terjadi gangguan atau tidak akan menyebabkan penarikan kesimpulannya berpotensi keliru.

(Bersambung)

 

KH Salam Nawawi(1*), KH Djawahir Fahrurrazi(2), KH Abdul Muid Zahid(3), KH Muhyidin Hasan(3), M. Basthoni(4,11), Ismail Fahmi(5), Eka Puspita Arumaningtyas(8), Nihayatur Rohmah(9), Imam Qustholaani(1), Rukman Nugraha(1,12), Suaidi Ahadi(1,12), KH Ahmad Yazid Fattah(1), KH Shofiyulloh(6), Djamhur Effendi(1,13), Khafid (1,14), Hendro Setyanto(1), Ahmad Junaidi(8), KH Imron Ismail(1), Mutoha Arkanuddin(7), Syifaul Anam(10), dan Muh. Ma’rufin Sudibyo(1)

1. Lembaga Falakiyah PBNU
2. Lembaga Falakiyah PCNU Kab. Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta
3. Lembaga Falakiyah PCNU Kab. Gresik, Jawa Timur
4. Lembaga Falakiyah PWNU Jawa Tengah
5. Lembaga Falakiyah PWNU DKI Jakarta
6. Lembaga Falakiyah PWNU Jawa Timur
7. Lembaga Falakiyah PWNU Daerah Istimewa Yogyakarta
8. Lembaga Falakiyah PCNU Kab. Ponorogo, Jawa Timur
9. PCINU Jepang
10. Institut Agama Islam Ngawi, Jawa Timur
11. UIN Walisongo, Semarang, Jawa Tengah
12. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
13. Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional
14. Badan Informasi Geospasial
*Ketua Tim Kajian Awal Waktu Subuh Lembaga Falakiyah PBNU

https://www.kompas.com/sains/read/2021/10/21/203000123/fajar-semu-fajar-nyata-dan-waktu-subuh-indonesia-3-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke