Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengenang Letusan Krakatau 1883 dan Upaya Mitigasi di Selat Sunda

KOMPAS.com - Sejarah mencatat, erupsi Gunung Krakatau pada 27 Agustus 1883 atau 138 tahun silam memicu tsunami besar.

Kemudian 3 tahun lalu, tepatnya pada 22 Desember 2018, tsunami juga muncul di Selat Sunda.

Kejadian tsunami ini seakan membuka memori masyarakat Sebesi dengan kekhawatiran dan kecemasan. Beragam kecemasan masyarakat Sebesi membayangkan terjadinya kembali tsunami yang lebih besar, Anak Krakatau meletus kembali, serta gempa besar yang memicu tsunami.

Apa yang perlu ditingkatkan dan dilakukan sebagai upaya pengurangan risiko bencana di Selat Sunda?

Kepala Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Herry Jogaswara mengatakan, edukasi masyarakat pada pengayaan pengetahuan lokal, dalam hal ini khususnya terkait Gunung Krakatau, adalah hal penting untuk memperkaya pengetahuan bagi masyarakat lokal.

Hal ini nantinya penting sebagai upaya pengurangan risiko bencana di masa depan.

“Kondisi geografis menjadikan Indonesia berpotensi sekaligus rawan bencana seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir, dan tanah longsor,” tutur Herry dalam acara webinar bertajuk Mengenang Letusan Krakatau 1883: Pengetahuan Lokal dan Upaya Pengurangan Resiko Bencana di Selat Sunda yang diadakan Jumat (27/8/2021).

Herry menyatakan, pengelolaan bencana harus berbasis struktural dan non struktural.

Pengelolaan bencana berbasis struktural antara lain teknologi peringatan dini, alat pendeteksi bencana.

Sementara pengelolaan bencana non struktural merupakan suatu pendidikan kebencanaan yang memberikan pertolongan pertama kali saat bencana itu terjadi.

Menurut Herry, masyarakat Indonesia yang berada di wilayah rawan bencana harus diedukasi dan diberikan materi yang berkaitan dengan kebencanaan.

“Pendidikan bencana ini juga sifatnya kontekstual dan harus selalu diperbarui,” tegasnya.

Berdasarkan studi LIPI di masyarakat pulau Sebesi, peneliti Pusat Penelitian Kewilayahan LIPI Devi Riskianingrum telah menyelesaikan penelitian dengan topik ‘Krakatau dalam Pandangan Masyarakat Sebesi: Antara Berkah dan Bencana’.


Dari survei wawancara pada 13-16 Oktober 2020, Devi mengatakan Pulau Sebesi, sebagai pulau yang posisinya hanya 20 kilometer (sekitar 10,7 mil laut) dari gunung Krakatau dan tak luput dari sapuan tsunami.

“Hal ini menyebabkan pulau Sebesi lumpuh komunikasi dan terisolasi saat terjadi tsunami,” ungkapnya.

Menurut Devi, aktivitas Anak Krakatau dari gemuruh, letusan kecil yang mengeluarkan asap, bau belerang, hujan debu vulkanik hingga tsunami di 2018 sudah biasa dirasakan oleh masyarakat di Pulau Sebesi.

Menariknya, risiko tinggi yang dihadapi tidak serta merta membuat masyarakat meninggalkan Pulau Sebesi.

“Bagi sebagian besar warga Sebesi, ketika ada aktivitasnya, maka mereka yakin Anak Krakatau tidak akan membahayakan mereka,” imbuh Devi.

Devi melanjutkan, di sisi lain ketika Anak Krakatau cenderung sepi aktivitas dan diam dalam periode waktu yang cukup lama, masyarakat justru mempertanyakan dan mengkhawatirkan kondisi ini.

“Untuk masyarakat Sebesi, geliat Anak Krakatau adalah pertanda bahwa gunung itu hidup dan tidak membahayakan, selayaknya ‘batuk’ pada anak manusia,” jelas Devi.

“Saat ini, pandangan masyarakat perlahan tetapi pasti mulai berubah, dari memandang alam sekeliling mereka termasuk Anak Krakatau sebagai berkah, kini menjadi sumber ancaman bencana. Terlepas dari ketakutan yang mulai tumbuh, masyarakat Pulau Sebesi tetap enggan untuk meninggalkan tanah kelahiran mereka. Tidak ada trauma yang terlalu berat pada masyarakat Sebesi dalam merespons bencana tsunami 2018,”.

Mengingat kondisi alamnya membuat Pulau Sebesi menjadi salah satu unggulan destinasi wisata bahari oleh pemerintah Lampung.

Pantai yang memiliki pemandangan yang indah dan berhadapan langsung dengan Gunung Anak Krakatau yang terkenal aktif menjadi salah satu unggulan pulau Sebesi.

https://www.kompas.com/sains/read/2021/09/01/180100823/mengenang-letusan-krakatau-1883-dan-upaya-mitigasi-di-selat-sunda

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke