Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

[POPULER SAINS] Fakta Badai Sitokin yang Dialami Deddy Corbuzier | WHO Tegur Indonesia

KOMPAS.com - Salah satu berita populer di kanal Sains yang paling banyak dibaca adalah tentang badai sitokin yang dialami Deddy Corbuzier.

Deddy mengakui bahwa dirinya telah sembuh dari Covid-19 dan sempat mengalami badai sitokin yang membuatnya sampai kritis. Deddy adalah salah satu orang yang selamat dari badai sitokin. Namun kenapa orang yang terlihat bugar seperti Deddy bisa mengalami kondisi ini?

Terkait usulan membuka sekolah tatap muka pada September nanti, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) dan epidemiolog mengingatkan syaratnya harus sudah divaksin minimal 70 persen di setiap sekolah.

WHO pun menegur Indonesia karena tingkat mobilitas di Jawa meningkat. Bagaimana tanggapan epidemiolog terkait hal ini?

Lantas, jika ada dari Anda yang terpapar Covid-19 dan saat ini mengalami anosmia atau kehilangan indra penciuman dan perasa, ada cara yang bisa dilakukan untuk mengembalikannya.

Berikut rangkumannya:

1. Fakta badai sitokin

Deddy Corbuzier mengaku sempat mengalami kondisi parah akibat terinfeksi Covid-19, dia bahkan mengalami badai sitokin meski tubuhnya bugar.

Dalam podcast terbarunya, Deddy menyebutkan terinfeksi virus corona setelah merawat keluarganya yang lebih dulu dinyatakan positif.

Di dalam artikel Kompas.com kemarin, dipaparkan sejumlah fakta tentang badai sitokin. Mulai dari penyebab badai sitokin, apa itu badai sitokin, gejala, hingga cara melewatinya.

Selengkapnya baca di sini:

7 Fakta Badai Sitokin, Kondisi yang Dialami Deddy Corbuzier hingga Kritis

2. Sekolah tatap muka September, syarat minimal seharusnya 70 persen

Rencana membuka sekolah tatap muka pada September 2021 menuai kritik dari FSGI dan epidemiolog.

Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Heru Purnomo, mengkritik kebijakan itu.

Menurut dia, tanpa ditunjang vaksinasi maka berisiko menimbulkan klaster Covid-19.

Itu artinya sama saja pemerintah mengabaikan keselamatan para pendidik dan peserta didik sesuai amanat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.

Heru merekomendasikan Kemendikbudristek agar memakai syarat minimal vaksinasi 70 persen di tiap satuan pendidikan jika ingin menerapkan pembelajaran tatap muka.

Acuan itu, kata dia, lebih jelas ketimbang menggunakan level 1 hingga 3.

"Upaya vaksinasi itu memberikan perawatan, supaya kalau terinfeksi Covid-19 gejalanya ringan. Dengan kondisi itu maka apabila satuan pendidikan belum keseluruhan tervaksinasi dengan baik, maka risiko klaster penularan akan berpotensi terjadi," imbuh Heru Purnomo kepada BBC News Indonesia.

Selengkapnya baca di sini:

Sekolah Tatap Muka Mulai September, FSGI: Vaksin Covid-19 Minimal Harus 70 Persen

3. Teguran WHO untuk Indonesia

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam laporan WHO Situation Report per 18 Agustus 2021 menyebutkan, bahwa mobilitas masyarakat meningkat usai pemerintah melonggarkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM pada 26 Juli 2021.

Peningkatan mobilitas, terjadi di stasiun transit, area ritel, dan tempat rekreasi di provinsi di Jawa dan Bali.

Seperti telah diberitakan Kompas.com sebelumnya, data baru WHO menunjukkan, mobilitas di tempat-tempat tersebut telah mencapai tingkat pra-pandemi di beberapa wilayah utama, seperti di provinsi Banten, Jawa Barat, dan Jawa Tengah yang secara kolektif menampung sekitar 97 juta orang.

Adapun yang dimaksud area ritel dan rekreasi mengacu pada restoran, kafe, pusat perbelanjaan, perpustakaan, museum, dan taman hiburan.

Oleh sebab itu, WHO mendesak Indonesia untuk mengambil tindakan demi menekan penyebaran virus corona. "Perumusan rencana konkret dan tindakan mendesak sangat penting untuk mengantisipasi dan mengurangi dampak peningkatan mobilitas pada transmisi dan kapasitas sistem kesehatan," tulis laporan itu.

Hal ini pun membuat seorang epidemiolog dari Unair Surabaya angkat bicara. Baca selengkapnya di sini:

WHO Tegur Indonesia karena Mobilitas di Jawa Naik, Epidemiolog Ingatkan Pandemi Belum Usai

4. Cara mengembalikan penciuman usai sembuh dari Covid-19

Anosmia adalah kehilangan penciuman. Banyak orang yang mengalaminya saat ini akibat terinfeksi Covid-19. Sebagian orang akan pulih sendiri dalam waktu yang singkat, namun sebagian lagi membutuhkan waktu yang lebih lama.

Anosmia akibat infeksi Covid-19 biasanya akibat ada saraf yang terluka ketika sakit atau mengalami inflamasi.

Pada sebagian kasus, anosmia setelah sembuh dari Covid-19 terjadi akibat sinusitis kronis dan polip hidung.

Sebagian kasus lainnya menunjukkan gejala yang sedikit berbeda, yaitu mencium bau namun sering tercium bau yang tidak biasa. Bau yang biasa dicium bisa jadi terasa lebih menyengat atau justru tercium seperti bau tengik. Kondisi ini dinamakan parosmia.

Baik parosmia ataupun anosmia bisa terjadi permanen atau hanya sementara. Tidak ada perawatan khusus yang benar-benar bisa mengatasi anosmia dengan cepat.

Untuk mempercepat penyembuhannya, ada beberapa cara mengembalikan penciuman yang bisa Anda lakukan di rumah dengan latihan penciuman, menggunakan minyak castor, jahe, dan vitamin A.

Jangan sampai salah, penjelasan selengkapnya bisa dibaca di sini:

Begini Cara Mengembalikan Penciuman Setelah Sembuh dari Covid-19

https://www.kompas.com/sains/read/2021/08/24/070100223/populer-sains-fakta-badai-sitokin-yang-dialami-deddy-corbuzier-who-tegur

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke