Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Udara Jakarta Membaik saat Pandemi Corona, Ahli Ungkap Sebabnya

KOMPAS.com – Kamis (26/3/2020) pagi, kualitas udara DKI Jakarta masuk dalam kategori sedang.

Berdasarkan situs Air Quality Index (AQI), pukul 08.00 WIB kualitas udara menyentuh angka 82. Pada sore hari yakni pukul 15.30 WIB, kualitas udara berada pada angka 62 dengan PM 2.5 sebesar 17,5 mg/m3.

Berdasarkan catatan Kompas.com, kualitas udara Jakarta biasanya masuk dalam kategori tidak sehat dengan indeks kualitas udara di atas 155.

Pada 22 November 2019 misalnya, indeks kualitas udara Jakarta mencapai 157. Saat itu Jakarta berada di peringkat 11 sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di antara kota-kota besar lainnya di dunia.

Jakarta bahkan pernah muncul dalam urutan pertama kota dengan kualitas udara terburuk di dunia, tepatnya pada 29 Juli 2019. Indeks kualitas udara di Jakarta saat itu tercatat 183, kategori tidak sehat dengan parameter konsentrasi PM 2.5 sebesar 117,3 mg/m3.

Akibat kerja dari rumah?

Kualitas indeks udara terutama di DKI Jakarta berangsur membaik sejak diberlakukannya Work from Home (WFH) atau kerja dari rumah selama pandemi Covid-19. Apakah benar berpengaruh?

Bondan Andriyanu selaku Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia menyebutkan bahwa bisa jadi berkurangnya polusi udara adalah dampak kerja dari rumah.

“Katakanlah hari ini banyak yang sudah WFH, asumsinya sumber pencemar dari transportasi berkurang. Tapi datanya justru terjadi peningkatan PM 2.5,” tutur Bondan kepada Kompas.com, Kamis (26/3/2020).

Artinya, lanjut ia, bisa jadi ada sumber lain yang tidak bergera masih berkontribusi pada pencemaran udara.

“Misal industri, PLTU Batubara, pembakaran sampah, dan lainnya,” lanjut ia.

Bondan menyebutkan bahwa masalahnya, berkurangnya polusi dan meningkatnya kualitas indeks udara di DKI Jakarta tidak bisa dilacak sumbernya.

“Seberapa besar polusi berkurang akibat transportasi dan industri, itu yang menentukan. Sebenarnya, perbaikan kualitas udara harus bersumber dari kebijakan jangka panjang yang kemudian mengubah perilaku masyarakat,” tuturnya.

Riset inventarisasi emisi dan Air Monitoring Station

Bondan menuturkan sedikitnya ada tiga poin utama dalam polusi udara.

“Pertama adalah sebaran alat pantau udara yang memadai. Kedua, riset inventarisasi emisi yang reguler dan bisa dengan mudah kita identifikasi sumber pencemar udara,” papar ia.

Poin terakhir adalah upaya pengendalian sumber pencemaran udara berdasarkan hasil inventarisasi emisi.

“Keterbukaan data sumber pencemar udara ini menjadi sangat penting. Selama ini tidak ada sumber pencemaran udara, karena tidak ada inventarisasi emisi,” tutur Bondan.

Ia menyebutkan terakhir kalinya DKI Jakarta pernah membuat riset inventarisasi emisi adalah pada 2012. Padahal, idealnya, Jakarta butuh inventarisasi emisi dua kali dalam setahun.

Selain riset inventarisasi emisi, Bondan juga menekankan pentingnya Air Monitoring Station yang tersebar di seluruh wilayah, tak hanya di titik tertentu.

“Air Monitoring Station di DKI Jakarta hanya punya 5. Kemudian yang memiliki alat deteksi PM 2.5 hanya ada 4. Alat pantaunya kurang,” tutur dia.

Idealnya, DKI Jakarta butuh 60 Air Monitoring Station yang tersebar hingga wilayah yang jauh dari pusat kota.

“Alat pantau harus memadai dengan luasan Jakarta saat ini,” tambahnya.

https://www.kompas.com/sains/read/2020/03/26/181400023/udara-jakarta-membaik-saat-pandemi-corona-ahli-ungkap-sebabnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke