KOMPAS.com - Setelah sebulan penuh menjalani ibadah puasa di bulan Ramadhan, umat Islam kini tengah bersuka cita merayakan Idul Fitri.
Meski pandemi Covid-19 melanda Indonesia dan berdampak pada tradisi lebaran, tapi esensi dari Idul Fitri sebagai momen saling memaafkan tak pernah luntur.
Salah satu tradisi yang lekat dengan perayaan Idul Fitri adalah halal bihalal, yaitu momen untuk berkumpul bersama keluarga besar atau teman semasa sekolah.
Baca juga: 5 Amalan Sunah yang Dapat Dilakukan Sebelum dan Sesudah Shalat Idul Fitri
Meski berasal dari bahasa Arab, orang Arab sendiri tidak akan mengerti makna esensi dari halal bihalal, karena tradisi tersebut hanya ada di Indonesia.
Adalah KH Wahab Chasbullah, tokoh Nahdlatul Ulama (NU) pencetus terminologi halal bihalal.
Dikutip dari Kompas.com, Rabu (28/6/2017), gejala disintegrasi bangsa yang semakin memanas pada 1948 membuat Presiden Soekarno memikirkan cara untuk menyelasikan masalah tersebut.
Aksi pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dan PKI di Madiun mengakibatkan banyak korban berjatuhan.
Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Soeharto Dilantik sebagai Presiden RI Gantikan Soekarno
Elite politik yang banyak diharapkan justru saling bertengkar dan tak mau duduk bersama mencari solusi.
Pada pertengahan Ramadhan, Bung Karno kemudian memanggil KH Wahab Chasbullah untuk meminta pendapat.
KH Wahab pun menyarankan Bung Karno untuk menggelar acara silaturahim di antara elite politik dengan memanfaatkan momentum Idul Fitri.
Meski sepakat dengan usulan itu, tapi Bung Karno merasa kurang cocok dengan penggunaan kata silaturahim untuk mendinginkan suhu politik saat itu.
Menurutnya, istilah itu terlalu biasa dan harus dicari istilah lain agar pertemuan itu jadi momentum dan mengena bagi para elite yang hadir.
KH Wahab Chasbullah kemudian menjelaskan sebuah alur pemikiran yang menjadi kunci pada penemuan istilah 'halal bihalal'.
Diawali dengan penjelasan situasi para elite politik yang saling serang dan menyalahkan satu sama lain, KH Wahab menjelaskan hukum dalam Islam.
Ia menyebut bahwa saling menyalahkan adalah dosa. Di sisi lain, dosa memiliki hukum haram.
Baca juga: Soal Silaturahmi di Hari Raya, Sudah Ada Sejak Zaman Rasulullah hingga Dapat Hapuskan Dosa