MEMBACA kisah Nabi Ayub di masa pandemi Covid-19 ini terasa menyejukkan.
Kisah itu membuat hati tenang, dan bisa mengambil pelajaran bagaimana menghadapi penyakit yang membuat seluruh penduduk bumi ini kalang kabut.
Ayub adalah potret manusia yang memiliki kesabaran tiada batas ketika mendapat ujian hidup. Ia tak berkeluh kesah, tidak sumpah serapah, apalagi melakukan pelanggaran.
Itulah Ayub, yang menurut sejarawan Ibnu Ishaq (704-768), putra Mush putra Razah putra Aish putra Nabi Ishaq putra Nabi Ibrahim.
Baca juga: Hikmah Ramadhan: Meraih Kemenangan Idul Fitri di Tengah Pandemi Covid-19
Sebelum diberi ujian, kehidupan Ayub sangat baik. Keluarganya bahagia. Anak-anaknya banyak. Secara ekonomi, sungguh tidak ada masalah.
Menurut Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah, ia adalah orang kaya asal Hauran. Letak Hauran di Suriah selatan hingga memasuki batas Yordania dan Dataran Tinggi Golan di bagian baratnya.
Harta Ayub yang berlimpah itu tertulis di Alkitab, “…Ia mempunyai banyak budak-budak, 7.000 ekor domba, 3.000 ekor unta, 1.000 ekor sapi, dan 500 ekor keledai.
Pendek kata, dia adalah orang yang paling kaya di antara penduduk daerah Timur” (Ayub 1: 3). Dalam kehidupan dunia, Ayub sudah mencapai semuanya. Dan, Ayub adalah seorang nabi yang saleh dan selalu bersyukur.
Baca juga: Hikmah Ramadhan: Idul Fitri, Gerbang Baru Kemanusiaan
Namun itulah kehidupan, terkadang batasnya begitu tipis, antara kaya dan miskin, antara sehat dan sakit. Saat Allah memberi ujian, semua harta Ayub lenyap.
Ternak-ternak mati atau hilang. Semua anak-anaknya meninggal.
Bahkan sekujur tubuhnya digerogoti penyakit kulit. Ayub terkulai, tubuhnya lemah.
Hanya hati dan lidahnya yang tidak sakit. Semua orang menjauhinya, merasa jijik.
Sang istri, Rahmah binti Afraim bin Yusuf bin Yakub bin Ishaq bin Ibrahim – di mana silsilah mereka bertemu – begitu telaten merawatnya.
Rahmah bekerja sebagai buruh untuk bertahan hidup. Bahkan saat tiada yang mau memakai tenaganya karena takut tertular, Rahmah menjual potongan rambut untuk biaya makan.
Baca juga: Hikmah Ramadhan: Egalitarianisme
Dengan penderitaan tak terkira itu, Ayub tak berputus asa. Sekitar 18 tahun berpenyakit menjijikkan, Ayub menjalaninya penuh kesabaran.