JAKARTA, KOMPAS.com - Kenaikan tarif jalan tol setiap 2 tahun sekali harus dibarengi dengan peningkatan kualitas layanan oleh Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) sesuai dengan Standar Pelayanan Minimum (SPM).
Indonesia Toll Road Watch (ITRW) menjelaskan, regulasi soal jalan tol akan digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh komunitas pengguna jalan tol. Mereka menilai tarif tol di Indonesia terlalu mahal.
Tarif tol menjadi tantangan yang cukup besar di Indonesia karena hampir seluruh jalan tol saat ini masih harus melakukan pengembalian investasi.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 tahun 2021 diatur bahwa pengembalian investasi jalan tol adalah melalui pembayaran tarif tol dan juga pendapatan dari pemanfaatan iklan, bangunan utilitas maupun rest area.
Tarif tol dihitung berdasarkan Ability to Pay (ATP), besar keuntungan biaya operasi kendaraan (selisih BOK dan nilai waktu), dan kelayakan investasi.
Dalam menentukan formulasi jalan tol, BUJT melakukan kajian ekonomi dan finansial sehingga dari kajian tersebut harus dapat ditunjukkan bagaimana kelayakannya.
Untuk kelayakan ekonomi ditunjukkan dengan Economic IRR > Social Discount Rate dan untuk kelayakan finansial ditunjukkan dengan Financial IRR (Project) IRR > Weight Average Cost of Capital (WACC).
Dari sudut pandang pemerintah, seluruh jalan tol harus layak secara ekonomi dulu, baru dilihat bagaimana kelayakan finansialnya, apakah layak seluruhnya atau sebagian.
Formulasi tarif pun diperhitungkan dari hasil survei atau kajian ATP/Willingness to Pay (WTP) pengguna jalan tol.
Baca juga: Resmi Berlaku, Ini Besaran Tarif Tol Cisumdawu Seksi 4-6
Hal ini yang menjadi titik awal sejauh mana studi secara validitas data calon pengguna jalan tol dapat dipertanggung jawabkan.
Karena apabila kecukupan data dan profil pengguna jalan tidak sesuai, maka formulasi tarif pun menjadi tidak akurat.
Sementara rata-rata saat ini tarif tol per kilometer (km) sudah diatas Rp 1.000/km untuk golongan I.
Dari sisi nilai investasi jalan tol, rata-rata biaya konstruksi per km sudah mencapai lebih dari Rp 100 miliar per km untuk non-elevated dan untuk elevated bisa lebih dari Rp 250 miliar per km.
Hal itu turut menjadi tantangan tersendiri, bahwa dengan model-model seperti ini, anggaran pemerintah atau rupiah murni akan makin tertekan, sehingga pendanaan pinjaman baik dari International Agency/Donor/Regional Loan yang berbunga rendah dan tenor panjang menjadi opsi murah.
Dari sudut pandang BUJT, mereka perlu kepastian modal investasi dengan menaikan tarif tol, di sisi lain SPM jalan tol harus dipenuhi.
ITRW menilai perlu adanya perencanaan dan penyiapan yang komprehensif, khususnya terkait implikasi ekonomi masyarakat akibat pembangunan jalan tol.
Oleh karena itu, ITRW memberikan rekomendasi sebagai berikut:
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.