Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bukan Pakai Putih Telur, Ini Alasan Bangunan Candi Borobudur Tetap Kokoh

Kompas.com - 23/05/2023, 16:00 WIB
Muhdany Yusuf Laksono

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Mengapa bangunan Candi Borobudur masih berdiri kokoh? Pertanyaan itu mungkin pernah terlintas di benak masyarakat.

Pasalnya, monumen Buddha terbesar di dunia yang terletak di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, ini dibangun tanpa menggunakan mortar (semen+pasir+air) untuk merekatkan setiap bebatuannya.

Lagipula, pabrik semen pertama di Indonesia baru berdiri pada 18 Maret 1910 silam. Yakni Pabrik Indarung I PT Semen Padang.

Sementara, pembangunan Candi Borobudur dikisahkan berlangsung pada masa Dinasti Syailendra antara 780 Masehi dan 840 Masehi.

Meski tidak menggunakan semen, pembangunan situs Warisan Budaya Dunia itu dipercaya sebagian masyarakat di Indonesia menggunakan putih telur sebagai perekat.

Akan tetapi, anggapan tersebut salah besar. Sebagaimana informasi yang dikutip dari unggahan akun Twitter Kementerian PUPR.

Baca juga: Menilik Arsitektur Candi Borobudur, Monumen Buddha Terbesar di Dunia

Pembangunan Candi Borobudur menggunakan teknik sambung batu pada setiap bebatuannya.

Teknik ini layaknya puzzle, di mana setiap batuan dipahat dengan bentuk tertentu agar bisa saling tersambung dan mengunci.

Terdapat empat tipe teknik sambungan batu pada Candi Borobudur, yakni ekor burung, takikan, alur dan lidah, serta purus dan lubang.

Ilustrasi teknik sambung batu yang digunakan pada Candi Borobudur.Dok. Kementerian PUPR bersumber dari Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek Ilustrasi teknik sambung batu yang digunakan pada Candi Borobudur.
Dalam menentukan tipe sambungan yang digunakan, arsitek candi mempertimbangkan gaya tekanan dan risiko geser.

Informasi serupa dan lebih lanjut juga tersaji di laman Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek).

Masyarakat menganggap Candi Borobudur dapat rekat karena menggunakan putih telur ayam. Padahal realitanya tidak demikian.

Candi Borobudur dapat kokoh berkat teknik sambungan yang merekatkan antar bebatuan pada candi.

Perlu diketahui, Candi Borobudur tersusun atas batuan andesit yang disusun dengan pola arah horizontal. Ukuran batu yang dipakai berkisar, panjangnya 40 cm-50 cm, tebal 30 cm–40 cm, dan tinggi 20 cm–25 cm.

Ilustrasi teknik sambung batu yang digunakan pada Candi Borobudur.Dok. Kementerian PUPR bersumber dari Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek Ilustrasi teknik sambung batu yang digunakan pada Candi Borobudur.
Kembali mengenai teknik sambung batu Candi Borobudur, terdapat beberapa jenis yang digunakan. Beberapa di antaranya:

  • Tipe Ekor Burung. Ini dapat ditemukan pada hampir setiap batu dinding;
  • Tipe Takikan. Dapat ditemukan pada kala, doorpel, relung, dan gapura;
  • Tipe Alur dan Lidah. Dapat ditemukan pada pagar langkan selasar dan batu ornamen makara di kanan dan kiri tangga undag dan selasar;
  • Tipe Purus dan Lubang. Dapat ditemukan pada batu antefik dan kemuncak pagar langgan.

Sebagai informasi tambahan, Candi Borobudur berbentuk punden berundak dengan denah persegi berukuran panjang 121,66 meter dan lebar 212,38 meter, serta tinggi 35,40 meter.

Dibangun di atas sebuah bukit, candi yang memiliki 10 tingkat ini berbentuk kisi-kisi dengan ukuran yang semakin pendek ke atas.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com