Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Asosiasi Pengembang Wanita Keluhkan Perizinan di Pusat dan Daerah Tak Sinkron

Kompas.com - 25/12/2022, 11:01 WIB
Suhaiela Bahfein,
Muhdany Yusuf Laksono

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Asosiasi Srikandi Developer dan Pengusaha Properti Indonesia (SRIDEPPI) menilai, pemahaman pemerintah daerah (pemda) tentang regulasi pengembangan properti masih belum selaras dengan pemerintah pusat.

Akibatnya, pengembang kerap menghadapi kesulitan dalam mengurus perizinan.

Menurut Risma, saat ini regulasi pengembangan properti yang ditetapkan oleh pemerintahan pusat sudah mendukung. Namun, fakta di lapangan, implementasi regulasi secara teknis tidaklah mudah.

"Buktinya, kami menemui masih banyak keluhan anggota di lapangan," terang Ketua SRIDEPPI Risma Gandhi dalam keterangan tertulis, Jumat (23/12/2022).

Soal perizinan bangunan gedung, pemahaman antara Pemda satu dengan yang lainnya dalam satu provinsi saja bisa berbeda.

"Karena itu, (Kementerian) PUPR harus lebih sering melakukan sosialisasi ke perangkat daerah agar proses perizinan bisa dipercepat,” usul Risma.

Dalam kesempatan tersebut, Risma berserta sejumlah pengurus lainnya menjelaskan fungsi, tugas, serta misi dan misi pembentukan SRIDEPPI.

Selain itu, menyampaikan beberapa pokok pikiran terkait dinamika dan kendala perizinan pengembangan bisnis properti di daerah.

Baca juga: Harga Rumah Murah di Bogor Masih Rp 160 Jutaan, Cek di Sini (I)

"Kami beserta Dewan Pengurus Pusat (DPP) SRIDEPPI lainnya juga meminta masukan serta dukungan (Kementerian) PUPR guna membongkar sumbatan-sumbatan pengembangan bisnis properti di daerah," imbuh Risma.

Setidaknya, ada lima usulan yang disampaikan Risma kepada Kementerian PUPR.

Pertama, perbedaan sikap pemda terhadap kebutuhan Keterangan Rencana Kota (KRK) dalam proses penempuhan Sertifikat Laik Fungsi (SLF). KRK sendiri merupakan salah satu syarat permohonan IMB.

"Sepanjang tidak ada perubahan bangunan dan lokasi, terkecuali untung bangunan yang baru, sifat dari KRK hampir sama dengan SIPPT dan Advice PlanningPlanning," paparnya.

Kedua, perbedaan tuntutan Pemda tentang tingkat tenaga ahli pengkaji SLF, dimana di beberapa daerah mengharuskan tenaga ahli pengkaji minimum tingkat madya.

Sementara, dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 tahun 2021 tidak menyebutkan keharusan level pangkat tenaga ahli pengkaji.

Baca juga: Lima Risiko yang Wajib Diwaspadai Pengembang Properti Tahun 2023

Ketiga, perbedaan ketentuan pemda perihal standar keandalan struktur bangunan, berdasarkan SNI yang berlaku, seperti belum adanya keseragaman format daftar simak dalam kajian struktur terkait.

Keempat, ketahanan gempa dimana kesalahan atau kekurangan kajian dalam hal ini akan beresiko bagi pengkaji teknis.

Kelima, ketentuan pelaksana kajian teknis untuk SLF yang membolehkan perusahaan konsultan atau tenaga independen tanpa batasan bagi pelaku.

Ini sebagai jaminan bagi klien terkait keamanan dan keberlangsungan kegiatan SLF yang ditempuhnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com