JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) terus berupaya melakukan penanganan sengketa konflik pertahanan.
Direktur Jenderal Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan (Dirjen PSKP) RB Agus Widjayanto mengatakan, dalam melakukan pemetaan permasalahan pertanahan, setidaknya terdapat 10 tipologi yang harus diperhatikan.
Salah satunya yaitu tipologi penetapan hak dan pendaftaran tanah.
“Apakah penetapannya keliru, bagaimana proses pendaftarannya. Semisal terjadi masalah di penetapan batasnya, apakah overlapping atau salah letaknya,” kata Agus dalam keterangannya, Selasa (18/01/2022).
Baca juga: Pencatatan, Cara Pemerintah Bereskan Sengketa Tanah Ulayat di Sumbar
Menurutnya, beberapa kesalahan yang terjadi dalam penetapan hak ini memang tak luput dari beberapa faktor. Pertama, bersumber pada perkembangan teknologi dalam aspek pertanahan.
Pada kurun 1960-1980, banyak sertifikat tanah yang ada buku tanahnya namun tidak ada surat ukurnya.
Termasuk ketika telah ada gambaran situasinya namun tidak dipetakan sehingga seolah-olah di peta tanah terlihat bersih tanpa ada kepemilikan.
Kedua, faktor pemekaran wilayah. Hal ini sering terjadi di lapangan yaitu pemekaran wilayah terjadi namun protokol daerah pemekaran tidak dilimpahkan secara lengkap.
“Melihat hal tersebut, sejak 1997 kami terus berkembang dan melakukan perbaikan-perbaikan. Kita terapkan koordinat nasional karena sebelumnya kan memakai koordinat lokal seperti pohon, sungai dan patok-patok yang dahulu ada namun sekarang tidak ada,” tuturnya.
Anggota Komisi II DPR RI Riyanta menambahkan, DPR juga turut berusaha bersama Kementerian ATR/BPN untuk meminimalisir sengketa dan konflik pertanahan, khususnya melalui pemberantasan mafia tanah.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.