Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

4 Penyebab Praktik Mafia Tanah Tumbuh Subur

Kompas.com - 03/12/2021, 19:14 WIB
Aisyah Sekar Ayu Maharani,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Praktik mafia tanah yang ramai dibicarakan belakangan ini, tidak hanya dialami oleh figur publik. Tindak kejahatan tersebut juga kerap dialami oleh masyarakat di pedesaan.

Misalnya, kasus mafia tanah masyarakat Desa Sukamukti, Kecamatan Mesuji, Sumatera Selatan.

Sebanyak 774 hektar lahan disengketakan yang melibatkan mafia tanah dan perusahaan kelapa sawit sejak tahun 1991. Hingga hampir 31 tahun, permasalahan ini belum juga mendapatkan titik terang.

Baca juga: Sekali Lagi, Waspadai 3 Modus Praktik Mafia Tanah

Melalui konferensi pers oleh Pembaruan Agraria yang dihadiri oleh Kompas.com, Jumat (3/12/2021), Kepala Departemen Advokasi Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Roni Septian menjelaskan, terdapat 4 penyebab maraknya praktik mafia tanah di Indonesia.

1. Iklim pembangunan di Indonesia masih bergantung pada investasi

Dalam kesempatan tersebut, Roni menyebutkan iklim pembangunan berdasar investasi di Indonesia adalah penyebab pertama kejahatan mafia tanah kerap terjadi.

"Seperti yang kita ketahui hari ini pak Jokowi menyatakan akan mencopot kapolda-kalpolda yang tidak mendukung investasi," ujar Roni.

Hal ini dianggap mengerikan karena melalui pernyataan yang diberikan oleh presiden, dapat diketahui bahwa praktik mafia tanah banyak dilindungi oleh aparatur keamanan, terutama polisi.

2. Informasi pertanahan tertutup

Informasi terkait pertanahan di Indonesia masih tidak transparan. Karenanya, aparat penegak hukum hingga publik tidak memiliki kontrol atas informasi mengenai pertanahan.

"Misalnya Desa Sukamukti, kenapa tidak diberitahukan sebelumnya sudah ada transmigrasi kemudian muncul Hak Guna Usaha (HGU) fiktif di tahun 1997 yang tahun 2020 juga dikeluarkan sertipikat hak miliknya," tambah Roni.

Lanjut Roni, hal ini menandakan bagaimana pemerintah yang tidak terbuka terkait informasi pertanahan, sehingga masyarakat Sukamukti hingga kini belum mengetahui apakah tanah milikinya masuk ke dalam HGU atau tidak.

3. Keterkaitan antara pengusaha dan pemerintah setempat

"Kondisi ketiga yang menyuburkan praktik mafia tanah adalah kelit-kelindan antara pengusaha dan pemerintah setempat, dengan BPN, pemerintah daerah dan sebagainya," Roni kembali menjelaskan.

Sebagai contoh, pasca warga Sukamukti mendapatkan sertipikat tanah di tahun 2020, satu tahun setelahnya Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten OKI dengan sepihak menarik melakukan penarikan paksa atas 31 sertipikat tanah.

Menurutnya, jika tidak ada keterlibatan dari pemerintah daerah atau BPN, akan mustahil bagi mafia tanah untuk muncul di berbagai tempat.

4. Penegakan hukum yang lemah

Kondisi penegakan hukum yang lemah terutama di daerah yang bersinggungan dengan wilayah perkebunan menjadi kondisi keempat yang menyebabkan praktik mafia tanah terjadi.

Menjelaskan lebih rinci terkait penegakan hukum yang lemah, Roni mengutarakan seluruh tahapan pembangunan perkebunan sawit mulai dari izin lokasi, izin usaha, pelepasan hak sampai penerbitan HGU dan sebagainya tidak ada yang mengawasi.

"Sehingga masyarakat banyak yang merasa bahwa mereka tidak pernah dilibatkan atau memberikan kesepakatan untuk HGU," pungkas Roni.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com