Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal Pulau Tujuh, Bom Waktu Konflik Antara Bangka Belitung dan Kepri

Kompas.com - 18/09/2021, 20:45 WIB
Heru Dahnur ,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

BANGKA, KOMPAS.com - Pulau Tujuh hangat diperbincangkan karena status kepemilikannya yang masih menjadi polemik antara Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Kepulauan Riau (Kepri).

Namun, secara administratif saat ini, Pulau Tujuh telah memiliki perangkat dan kantor desa, Puskesmas Pembantu (Pustu), SD dan SMP yang bernaung di bawah Kecamatan Lingga, Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau.

Pulau Tujuh bukanlan sebuah daerah dengan topografi pulau tunggal, melainkan berupa gugusan tujuh pulau.

Oleh karena itu, namanya populer dengan sebutan Pulau Tujuh. Masyarakat Tionghoa menyebutnya Chi Shu.

Baca juga: Aset 21 Pulau Terluar di Kepulauan Riau Berhasil Ditata

Pulau terbesar di Pulau Tujuh adalah Pekajang, namun pulau ini belum berpenghuni.

Masyarakat Desa Pekajang yang berjumlah sekitar 137 kepala keluarga (KK) justru bermukim di Pulau Cibia atau Cebia dalam dialek masyarakat setempat.

Dikutip dari situs jelajahbangka.com, Pulau Cibia masih bagian dari Pulau Pekajang.

Masyarakat menyebut Pulau Pekajang yang belum berpenghuni dengan nama Pekajang Besar dan Cibia sebagai Pekajang Kecil.

Enam pulau lainnya bernama Tukong Yu, Pasir Keliling, Penyaman, Lalang, Kembung dan Jambat.

Secara geografis gugusan Pulau Tujuh lebih dekat ke wilayah Bangka. Yakni sekitar 3 jam perjalanan laut ke Teluk Limau, Parittiga, Bangka Barat atau 5 jam perjalanan ke Belinyu, Bangka.

Sedangkan dari Pulau Tujuh menuju Kabupaten Lingga dibutuhkan waktu sekitar 9 jam pelayaran.

Masyarakat Pulau Tujuh menggantungkan hidup dari hasil laut.

Mereka lebih banyak bertransaksi membeli kebutuhan pokok terutama es balok untuk mengawetkan ikan ke Kabupaten Bangka.

Sejarawan Bangka Belitung Akhmad Elvian, dalam buku berjudul Kampoeng di Bangka menyebutkan, Pulau Tujuh yang berada di utara Bangka, sejak lama menjadi jalur pelayaran strategis Nusantara.

Rute dagang itu dirintis sejak masa kerajaan Sunda pada abad ke-16, kemudian berganti dengan pengaruh Kesultanan Banten hingga akhirnya Kesultanan Palembang.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com