Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Alasan Klasik Sengketa Tanah yang Melibatkan Pemegang HPL

Kompas.com - 20/08/2021, 14:00 WIB
Ardiansyah Fadli,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Masyarakat yang tidak puas dengan ganti rugi atau merasa dirugikan dengan terbitnya Hak Pengelolaan (HPL) biasanya akan didorong untuk melapor ke pengadilan.

Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika menyampaikan hal itu kepada Kompas.com, terkait permintaan pengosongan lahan milik Amaq Saepuddin di Mandalika, Nusa Tenggara Barat, oleh Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC). 

Menurut Dewi, "dorongan untuk melapor ke pengadilan" selalu menjadi alasan klasik para pemegang HPL yang memiliki legitimasi dari pemerintah dalam membangun proyek-proyek infrastrutkur serupa Proyek Strategis Nasional (PSN).

Baca juga: Belum Dapat Ganti Rugi, Warga Tolak Pengosongan Lahan di Mandalika

"Dorongan untuk memperkarakan lahan ke pengadilan itu alasan klasik. Selalu terjadi, jika mereka merasa punya legitimasi dari pemerintah dan embel-embel HPL untuk pembangunan, masyarakat akan didorong untuk memproses litigasi atau ke pengadilan," kata Dewi, Rabu (18/08/2021).

Dewi menjelaskan, pemerintah atau pemegang HPL sering kali melihat konflik agraria hanya sebatas administasi dan hukum positif. Padahal, dalam perspektif politik hukum agraria justru sebaliknya.

Alasannya, karena fakta konflik agraria yang terjadi di lapangan tidak hanya menyangkut secarik kertas sertifikat tanah.

Banyak pemilik lahan, terutama di pedesaan dan masyarakat adat yang justru belum memiliki sertifikat tanah.

Lahan tanah yang dimiliki umumnya hanya dibuktikan dengan surat sporadik, berupa letter C dan yang lainnya.

Baca juga: Sengkarut Mandalika, Tumpang Tindih Hak Tanah dan Ganti Rugi Tak Dibayar

Oleh karena itu, jika harus berhadapan dengan pengadilan, masyarakat umumnya akan kalah karena bukti kepemilikan lahannya akan dianggap lemah.

Sebaliknya, dalam perspektif politik hukum agraria, masyarakat yang telah menempati lahan sampai belasan hingga puluhan tahun tentu punya kekuatan hukum yang sangat kuat.

Sebelumnya diberitakan, Amaq Saepuddin menolak permintaan pengosongan lahan dari PT Pengembangan Pariwisata Indonesia (Persero) atau ITDC

Amaq menolak permintaan tersebut karena ITDC dianggap belum membayarkan uang ganti rugi lahan yang dimilikinya seluas 10.500 meter persegi.

Kuasa Hukum Amaq Saepuddin Setia Dharma dari LBH Madani mengatakan, Amaq menguasai lahan itu sejak tahun 1973 yang dibuktikan dengan surat segel pernyataan pembukaan lahan atau penggarapan tahun 1980.

Sementara ITDC melalui surat peringatan pengosongan yang diberikan kepada warga mengklaim bahwa lahan seluas 1.175 hektar merupakan Hak Pengelolaan yang telah diberikan pemerintah kepada ITDC.

Di dalamnya termasuk klaim HPL lahan seluas 1,05 hektar milik Amaq Saepuddin.

"Lahan-lahan dimaksud diberikan oleh negara kepada ITDC dalam bentuk HPL untuk dibangun infrastruktur dan dikelola sendiri atau dikerjasamakan dengan mitra kerja sama atau investor sesuai dengan syarat dan ketentuan hukum yang berlaku," seperti tertulis dalam surat peringatan (pertama) pengosongan lahan dari ITDC bernomor 125/MD-MA/ITDC.MA/VII/2021 yang dikeluarkan Jumat, 9 Juli 2021. 

Karena kasus tersebut, Amaq melalui kuasa hukumnya Setia diminta ITDC untuk mengajukan konflik tersebut ke pengadilan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com