Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Biden Sebut Jakarta Tenggelam 10 Tahun Lagi, Apa Solusi Pemerintah?

Kompas.com - 31/07/2021, 20:13 WIB
Suhaiela Bahfein,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Belum lama ini, Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden membuat geger atas prediksi tenggelamnya DKI Jakarta dalam kurun waktu 10 tahun mendatang.

Pernyataan ini dia sampaikan ketika menyinggung bahaya pemanasan global saat berpidato di Kantor Direktur Intelijen Nasional, Selasa (27/07/2021) waktu setempat.

“Apa yang terjadi di Indonesia jika perkiraannya benar bahwa dalam 10 tahun ke depan, mereka mungkin harus memindahkan ibu kotanya karena akan tenggelam?” terang Biden.

Dalam pidatonya ini, Biden juga mengingatkan bahwa perubahan iklim dan pemanasan global bisa saja mengubah doktrin strategis nasional.

Baca juga: Waspada, Tahun 2050 Jakarta Bakal Tenggelam!

Jauh sebelum hebohnya pernyataan Biden ini, wilayah utara Jakarta memang diprediksi bisa tenggelam secara menyeluruh pada tahun 2050 jika tidak ada intervensi lebih lanjut dari pemerintah.

Hal ini diketahui dari laporan yang diterima Kompas.com dari Fitch Solutions Country Risk & Industry Research, Senin (31/05/2021).

"Tanpa intervensi, para ahli memperkirakan Jakarta Utara akan tenggelam seluruhnya pada 2050," tulis laporan tersebut.

Dalam laporan Fitch Solutions Country Risk & Industry Research, proyek-proyek infrastruktur pelabuhan dan air di Jakarta bisa menelan biaya konstruksi bernilai tinggi yakni 62,3 miliar dollar AS atau senilai Rp 889,3 triliun.

Tak hanya itu, dibangun juga jaringan pipa sekitar 4,5 miliar dollar AS atau setara Rp 64,2 triliun.

Sebagian besar biaya pembangunan infrastruktur ini berasal dari pembangunan proyek Giant See Wall atau lebih dikenal sebagai Tanggul Laut Raksasa sebesar 40 miliar dollar AS atau ekuivalen Rp 571 triliun.

Baca juga: Jakarta Diprediksi Tenggelam Tahun 2050, Pemerintah Didesak Tuntaskan Infrastruktur Pengendali Banjir

Berdasarkan pantauan Kompas.com, Tanggul Laut Raksasa dikerjakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) berupa pembangunan tanggul pantai dan sungai sebagai fase awal atau kurun waktu 2014-2018.

Tahun 2014, pembangunan tanggul Tahap I dilakukan di Pluit, Jakarta Utara sepanjang 75 meter.

Dilanjutkan tahun 2016-2018, pembangunan Tahap II sepanjang 4,5 kilometer terdiri dari dua paket.

Paket 1 berlokasi di Kelurahan Muara Baru, Kecamatan Penjaringan sepanjang 2,3 kilometer dan Paket 2 di Kelurahan Kali Baru, Kecamatan Cilincing dengan panjang tanggul 2,2 kilometer.

Infrastruktur air ini dirancang untuk melindungi pantai utara Jakarta dari naiknya permukaan air laut dan mengurangi risiko banjir.

Namun demikian, belum ada pembaruan dari kelanjutan pembangunan proyek yang juga disebut National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) atau Pembangunan Terpadu Pesisir Ibukota Negara (PTPIN).

Terlepas dari tantangan itu, Pemerintah pada akhirnya akan terus ditekan untuk menyelesaikan proyek tersebut mengingat ancaman kenaikan permukaan laut di Kota Jakarta dan sekitarnya semakin masif.

Jika tak segera diselesaikan, fenomena ini juga akan mengganggu kegiatan ekonomi dan mata pencarian warga di utara Jakarta.

Tak hanya di ibu kota, risiko banjir pada dasarnya terus terjadi dan berdampak ke seluruh Indonesia.

Baca juga: Jakarta Terus Alami Penurunan Tanah, Prediksi Biden Bisa Terjadi

"Kami berharap, pembangunan infrastruktur di Kalimantan Timur juga mempertimbangkan risiko terkait hal ini (banjir)," lanjut laporan Fitch.

Ini berupa penggabungan proyek irigasi dan saluran di ibu kota negara (IKN) baru, walaupun belum bisa dilihat kapan proyek tersebut diketahui publik.

Menurut Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jakarta Tubagus Soleh Ahmadi, definisi prediksi tenggelamnya Jakarta ini berbeda dengan land subsidence.

"Kalau land subsidence itu amblesan tanah, kalau Jakarta yang dimaksud tenggelam ini memang benar-benar tenggelam," terang Bagus kepada Kompas.com, Sabtu (31/07/2021).

Penyebab utama fenomena land subsidence itu adalah ekstraksi air tanah secara berlebihan untuk kepentingan industri dan lain sebagainya.

Bagus menjelaskan, sebetulnya ada beberapa faktor yang mempercepat tenggelamnya ibu kota Indonesia ini.

Misalnya, kenaikan suhu rata-rata global dan penurunan tanah yang sangat signifikan, contohnya di wilayah pusat sekitar 8 sentimeter dan utara 24 sentimeter per tahun.

Baca juga: 2050, Jakarta Utara Bakal Tenggelam

Indikator yang menunjukkan Jakarta bisa tenggelam adalah banjir ibu kota dari tahun ke tahun selalu dikontribusi dari wilayah yang mengalami penurunan permukaan tanah tersebut.

Selain itu, ada sebaran luasan angka banjir rob di Jakarta dari tahun 2011-2020 yang terus mengalami peningkatan.

Oleh karena itu, Walhi Jakarta menunggu upaya pemulihan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta.

Pertama, Pemerintah harus mendeklarasikan bahwa Indonesia sedang berada dalam darurat iklim.

Banjir merupakan salah satu dampak dari cuaca ekstrem Banjir merupakan salah satu dampak dari cuaca ekstrem
Ini bertujuan agar dari sisi politik maupun kebijakan harus bisa melihat bahwa Indonesia dalam kerentanan bencana ekologis tersebut.

Sehingga, rancangan kebijakan dan model pembangunan dilakukan secara adil dan berkelanjutan.

Untuk menyelesaikan permasalahan tenggelamnya Jakarta, cakupan perannya sangat luas, baik dari Pemerintah Pusat maupun Pemprov DKI Jakarta.

Terkait perubahan iklim global, kata Bagus, ini juga menjadi sesuatu hal yang penting dimana harus ada peran politik dari Indonesia terhadap global.

Contohnya, Indonesia tak lagi mengundang investasi yang membahayakan atau memperparah bencana ekologis.

Selain itu, Pemerintah juga didesak untuk melakukan pemulihan di Teluk Jakarta.

"Pemulihannya seperti apa? Nah, ini yang kita dorong untuk Pemerintah mendiskusikannya kepada banyak pihak, terutama masyarakat, nelayan yang kemudian menjadi kelompok rentan di wilayah tersebut," lanjut Bagus.

Baca juga: Menurut Luhut, Penanganan Banjir Jakarta dari Hulu sampai Hilir Sudah Baik

Pemerintah juga seharusnya tidak lagi melakukan pembangunan ekonomi yang merusak dan mulai melakukan transisi energi ke energi terbarukan.

Bagus mengatakan, batu bara merupakan salah satu emisi terbesar di Indonesia yang digunakan dalam membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

Tanpa studi khusus terkait tenggelamnya Jakarta, imbuh Bagus, sudah dapat dilihat dari fenomena peningkatan banjir rob, penurunan permukaan tanah, dan belum adanya upaya pengaman atau pencegahan dini.

Upaya pencegahan dini ini misalnya tak lagi memberikan izin terhadap suatu kegiatan yang dapat memperparah kondisi tersebut, seperti reklamasi yang membuat Jakarta rentan dari tenggelam.

Tak hanya itu, pembangunan Tanggul Laut Raksasa yang dilakukan Pemerintah demi mengatasi banjir Jakarta justru dinilai dapat mempercepat fenomena tenggelamnya ibu kota.

Menurut Bagus, pembangunan Tanggul Laut Raksasa ini dapat memperlambat masuknya aliran sungai menuju laut. 

Tampilan banjir Jakarta dari helikopter yang mengangkut Kepala BNPB Doni Monardo dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, saat mereka meninjau kondisi banjir terkini pada Rabu (1/1/2020).DOKUMENTASI BNPB Tampilan banjir Jakarta dari helikopter yang mengangkut Kepala BNPB Doni Monardo dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, saat mereka meninjau kondisi banjir terkini pada Rabu (1/1/2020).
"Sama halnya seperti reklamasi. Jika pasang air laut kejadiannya berbarengan dengan hujan deras di Jakarta akan memperparah tenggelamnya Jakarta," kata dia.

Bagus mengatakan, Tanggul Laut Raksasa hanya menjadi solusi palsu sebagai upaya mitigasi atau pengaman Jakarta dari banjir dan tenggelam.

Tanggul laut di darat saja bisa mengalami rembesan atau jebol. Oleh karena itu, Walhi menolak adanya pembangunan Tanggul Laut Raksasa karena hanya akan mempercepat tenggelamnya Jakarta.

Sementara itu, fenomena tenggelamnya Jakarta seperti yang disebutkan Biden merujuk pada studi sea level rise (kenaikan permukaan laut) yang diakibatkan oleh naiknya suhu udara.

Baca juga: Resmi, MA Tolak Gugatan Jaladri Kartika Pakci Terkait Izin Reklamasi Pulau I

Direktur Jenderal (Dirjen) Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang (PPTR) Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Budi Situmorang mengatakan, kenaikan suhu udara ini juga dipicu dari pertumbuhan ekonomi dan penduduk.

"Bahwa, es di kutub akan mencair sehingga akan menaikkan permukaan air laut plus aktivitas manusia berpengaruh pada cuaca atau kejadian alam lainnya," ujar Budi.

Apabila hal ini terjadi, kata Budi, negara kepulauan atau lebih spesifik kota dengan pantai seperti Jakarta akan terdampak kuat.

Merujuk dari pernyataan Biden, global diakuinya memang gagal dalam menangani perubahan iklim.

Sementara land subsidence merupakan penurunan muka tanah akibat terjadi aktivitas pengambilan air tanah yang tak terkendali.

Sehingga, rongga dimana air tanah seharusnya ada menjadi kosong dan mengalami penurunan, seperti halnya di Jakarta.

Oleh karena itu, solusi yang harus dilakukan dalam mengisi rongga kosong tersebut berupa  mengendalikan upaya pengambilan air tanah di hilir dan melakukan pemasukan air hujan ke dalam tanah yang dimulai dari hulu-hilir.

Kemudian, situ, danau, embung dan waduk harus direvitalisasi, terutama kapasitas air agar upaya ini dapat memperbaiki tinggi air tanah.

Selanjutnya, pembangunan tanggul air laut dalam menahan air laut masuk ke wilayah pesisir hingga ke wilayah tengah kota, terutama tempat terjadinya land subsidence.

Sementara itu, harus dilakukan pengaturan kembali penataan ruang terutama demi mendukung pembangunan.

Sejauh ini, Kementerian ATR/BPN sedang bekerja pada bidang yang menjadi lingkupnya karena melibatkan lintas sektor seperti Kementerian PUPR, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta Pemda.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com