Adalah demi membangun kekuatan brand yang membuat para caleg, cagub, capres rela menggelontorkan uang miliaran hingga triliunan rupiah tanpa jaminan akan menang.
Dan walaupun uang bisa membantu membangun popularitas namun bukan berarti mereka yang berkocek tipis kehilangan kesempatan untuk menang.
Nama-nama seperti Jokowi, Risma, dan sederet politikus non-borjuis lain terbukti bisa memenangkan kontestasi politik, tentunya juga dengan dorongan brand yang begitu kuat.
Merek bukan monopoli pebisnis dan pedagang. Kita semua adalah brand atas diri kita sendiri.
Dan bagaimana personal brand kita terbangun memiliki dampak luar biasa pada hidup kita.
Mereka yang memiliki personal brand yang kuat tidak pernah khawatir kehilangan pekerjaan.
Tidak butuh waktu lama bagi mereka yang memiliki personal brand kuat untuk menemukan pekerjaan baru.
Dalam situasi pekerjaan sehari-hari, kita pun bertemu orang-orang yang cenderung lebih didengar oleh atasan, ini juga tidak lepas dari kontribusi brand.
Bagaimana kita disukai, didengarkan, dipercaya dan dituruti juga tidak bisa dilepaskan dari bagaimana brand dibentuk dibenak orang-orang di sekeliling kita.
Ada orang-orang yang direncanakan atau tidak, telanjur membentuk brand sebagai si pintar, si cerdik, si licik, si lugu, si bermuka dua, si penyabar dan lain sebagainya.
Dan brand yang terbentuk ini sangat berpengaruh terhadap bagaimana hidup kita berjalan.
Sayangnya brand seringkali hanya jadi jargon, sesuatu yang dibicarakan namun jarang sekali dimengerti.
Banyak yang membangun brand dengan memulai dan terlalu banyak berfokus pada produk, pada aktivitas yang akan dilakukan.
Personal brand juga banyak dibangun dengan terfokus pada bagaimana kita harus berbicara dan berpenampilan.
Padahal sebaiknya brand dimulai dengan mengerti bagaimana manusia berpikir. Karena walaupun brand direncanakan di meeting room namun pada akhirnya dibentuk di benak konsumen.