JAKARTA, KOMPAS.com - Kondisi fisik jalan tol dan jalan nasional yang rusak dan berlubang, masih kerap ditemui di sejumlah titik.
Bahkan, saat musim hujan, jumlah titik kerusakan bertambah, mulai dari aspal mengelupas, hingga lubang membesar seperti kubangan.
Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagyo menilai kualitas jalan-jalan di Indonesia kurang baik.
Salah satunya karena kontraktor kurang memahami kondisi sosial budaya masyarakat sekitar sebagai akibat studi awal dibuat asal selesai demi target penyelesaian yang dicanangkan oleh Presiden.
Baca juga: Ini Alasan Pemerintah Mengabadikan MBZ Jadi Nama Jalan Layang
Satu sisi, strategi tersebut baik supaya kementerian terkait dapat bekerja cepat memenuhi target.
Tetapi di sisi lain memunculkan banyak masalah yang pada akhirnya memerlukan anggaran besar saat beroperasi, baik yang terkait teknis maupun non-teknis.
Kondisi tersebut mengakibatkan kualitas jalan tol yang dibangun kurang baik kualitasnya, seperti cepat berlubang, bergelombang, banyak genangan air ketika hujan yang memicu aqua planning, dan sebagainya.
"Sehingga dapat dipastikan bahwa biaya operasi dan perawatan yang dibebankan kepada operator jalan tol mahal," kata Agus yang dikutip Kompas.com, dari catatannya.
Tak mengherankan jika membandingkan kualitas dan kondisi fisik jalan di Indonesia dengan negara lain bagai bumi dan langit.
Apalagi jika kita bicara Uni Emirat Arab (UEA) yang makin akrab di telinga kita berkat peran Mohamed Bin Zayed dalam investasi infrastruktur.
Di negeri ini, mungkin bisa disematkan frasa "jalur sutera" saking mulusnya jalan-jalan mulai dari level jalan arteri, protokol yang strategis, hingga jalan lingkungan.
Pertanyaannya, mengapa kondisi jalan di Indonesia tak semulus UEA, Malaysia, atau Singapura?
Baca juga: Penjelasan Astra soal Amblesnya Tol Cipali Km 122
Saat dihubungi Kompas.com, Rabu (14/04/2021), Staf Ahli Bidang Keterpaduan Pembangunan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Ahmad Gani Ghazali mengatakan, ada tiga alasan utama yang menyebabkan banyaknya jalan rusak dan berlubang.
Pertama adalah Indonesia punya musim hujan. Hujan dengan intensitas tinggi akan membuat jalan berlubang dan rusak.
Untuk mengatasinya, Kementerian PUPR melalui Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) telah membuat aturan yang mengharuskan pengelola jalan tol memperbaiki titik-titik yang rusak dan berlubang selama 2X24 jam.
"Kami hanya bisa menetapkan bahwa 2X24 jam jalan berlubang itu harus tertutup. Cuma masalahnya, kadang di bagian kiri ditutup tapi kemudian di sebelah kanannya malah berlubang lagi, muncul lagi, jadi otomatis terus menerus mereka harus memperbaikinya, sebenarnya seperti itu kondisinya," jelas Gani.
Faktor kedua adalah buruknya saluran drainase. Gani menuturkan bahwa saluran drainase jalan sudah banyak terpengaruh kawasan permukiman, industri dan komersial.
Mereka membuang limbah (apapun) ke saluran drainase. Akibatnya ketika hujan turun, terjadi luapan.
Gani mengatakan, secara teoritis sangat mudah mengukur kebutuhan drainse suatu jalan. Caranya dengan menghitung curah hujan kemudian dikalikan dengan luasan jalannya.
Namun, dia mengaku bahwa saat ini sangat sulit karena harus mengukur luasan dari kawasan yang ada di sekitaran jalan tersebut.
"Selain itu, kawasan di sekitar jalan nasional dan jalan tol juga tidak terkontrol. Yang bsia mengontrol hanya pemerintah daerah," imbuh Gani.
"Misalnya di jalan Pantura, ada SPBU yang menutupi drainase jalan. Pemilik membeton bagian atas. Ketika hujan turun, otomatis timbul endapan. Semakin lama bikin mampet, dan airpun meluap," tutur Gani.
Faktor ketiga adalah kendaraan logistik Over Dimension Over Loading (ODOL).
Baca juga: Daftar Tol yang Masih Tergenang Banjir
Kendaraan dengan beban yang melebihi kapasitas muatan ini selain membahayakan juga berdampak buruk bagi kondisi jalan.
Gani menilai kendarana ODOL yang melalui jalan dengan kontur basah dan tergenang dapat mempercepat usia dan kerusakan jalan.
Jika dibandingkan dengan Dubai misalnya, tidak akan ditemui kendaraan ODOL yang melintas di ruas-ruas jalan.
Artinya pengendara di sana sadar betul bahwa jika ingin mengangkut muatan yang berat dan besar otomatis akan beralih pada kendaraan truk kapasitas lebih besar dan dengan sumbu yang lebih banyak.
"Di sana itu ODOL tidak ada, tidak ada truk yang sumbu satu, itu muatannya di atas 8,2 ton, jadi beban sumbunya tidak melebihi dari 8,2 ton," jelasnya.
Umumnya muatan barang itu akan bertumpu pada sumbu roda belakang kendaraan. Semakin banyak muatan yang diangkut otomatis akan semakin membebani sumbu roda tersebut.
Jika sumbu roda belakang hanya satu sementara muatan yang diangkut melebihi kapasitas akan menambah beban jalan.
"Pehitungan kemampuan perkerasan jalan berdasarkan sumbu yang satu yang paling berat dengan standar 8,2 ton," kata dia.
Seharusnya, muatan atau kapasitas angkut besar disesuaikan dengan sumbur roda yang juga lebih dari satu.
Dengan begitu berat muatan tidak bertumpu pada satu sumbu saja melainkan dibagi dengan sumbu yang lainnya.
Artinya mesti menggunakan kendaraan dengan sumbu roda yang lebih banyak agar ada pembagian tumpuan antar-papar Gani.
Selain itu, Gani mengakui, ada perbedaan material yang digunakan untuk membangun jalan di Indonesia dan Dubai. Namun, hal itu tidak berpengaruh signifikan.
"Ya kan sebenanrya kita punya standar dalam membuat jalan, sejauh memenuhi standar ya artinya jalan tol kita sama saja, tinggal penyebab yang tadi itu yang mesti diselesaikan," tuntas Gani.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.