Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Sebelum Bernama Nusantara, Ada 80 Usulan Nama IKN Baru

Hal tersebut disampaikan langsung oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Suharso Monoarfa dalam Rapat Kerja (Raker) Pansus RUU IKN di Gedung DPR RI Senin (17/01/2022).

"Ini penamaan dari Presiden langsung. Dan namanya itu Nusantara, alasannya Nusantara udah dikenal sejak dulu dan ikonik di internasional, mudah dan menggambarkan kenusantaraan kita semua, saya kira kita semua setuju dengan istilah Nusantara itu," kata Suharso dalam rapat tersebut.

Suharso menjelaskan, Nusantara sebagai nama IKN Baru telah melalui proses dan pembahasan yang panjang.

Dia mengeklaim, penamaan tersebut juga telah melibatkan para ahli, di antaranya ahli bahasa dan sejarah.

"Kami sudah konsultasi dengan ahli bahasa, dan juga ahli sejarah. Menurut mereka, yang selanjutnya disebut IKN itu nanti adalah Nusantara, jadi frasa IKN-nya dihilangkan," kata Suharso dalam rapat tersebut.

Menurut Suharso, sebelumnya terdapat sekitar 80 nama yang diusulkan untuk IKN Baru tersebut.

"Jadi yang kami ajukan kepada bapak Presiden Jokowi itu cukup banyak sekali termasuk kami panggil para ahli bahasa ahli sejarah, kemudian mereka yang punya otoritas untuk memberikan knowledge kepada kami," tutur dia.

Selanjutnya usulan daftar nama IKN dibahas dan diteliti oleh para pakar. Beberapa nama yang diusulkan menjadi nama IKN baru di antaranya yaitu Negara Jaya, Nusantara Jaya, Nusa Karya, Nusa Jaya, Pertinggi Pura, Wanapura, dan Cakrawala Pura.

"Para pakar itu ikut memilih dan membahas kata-lata yang paling tepat dan banyak sekali pilihan yang diusulkan itu ada 80-an lebih. Tapi kemudian dipilihlah nama Nusantara, tanpa kata Jaya," ungkap Suharso.

Dalam rapat tersebut, sejumlah anggota Panja RUU IKN mengkritisi Nusantara sebagai nama IKN.

Anggota Panja RUU IKN DPR dari Fraksi PKB Yanuar Prihatin misalnya, mengkhawatirkan pemilihan Nusantara sebagai nama IKN Baru justru malah akan mempersempit makna dari Nusantara yang selama ini telah dipahami oleh masyarakat.

"Nama Nusantara dalam pikiran bawah sadar kita itu nama yang sudah melegenda dan identik dengan Indonesia. Khawatir kita kalau nama Nusantara kemudian mengerucut menjadi lokasi tertentu apakah ini satu reduksi atau tidak," ujar Yanuar.

Dia mengusulkan penamaan IKN ini tidak satu kata, tetapi disandingkan dengan kata lain supaya tidak membingungkan.

"Karena itu sebagai salah satu jalan keluarnya itu ya di buat dua kata, satu kata usulan presiden dan satu lagi DPR misalnya tapi lebih lanjut perlu dicari solusinya," ucapnya.

Hal senada dikatakan Ketua Pansus RUU IKN DPR RI Fraksi Golkar Ahmad Doli Kurnia. Dia menilai nama Nusantara ini dikawatirkan menjadi multitafsir dan disalahpahami oleh banyak orang di kemudian hari.

"Ini secara semantik harus tepat. Rasa-rasanya IKN Nusantara itu multitafsir. Jangan-jangan negara kita sudah berubah jadi negara Nusantara," ucap Doli.

Karenanya, dia meminta agar pemerintah dapat mengundang ahli bahasa terkait penamaan IKN tersebut.

"Jadi ini tugas pemerintah, untuk mengundang ahli bahasa. Daripada IKN Nusantara, namanya, kan bisa menjadi Nusantara saja," imbuh Doli.

"IKN itu kan statusnya, nah namanya itulah Nusantara. Tapi kalau digabung jadi IKN Nusantara itu jadi multitafsir. Jadi tolong siapkan khusus pasal ini agak tidak salah persepsi terutama dalam konteks bahasa," ucapnya.

Anggota Panja RUU IKN DPR Fraksi PKS Ecky Awal Mucharam meminta pemerintah untuk mempertimbangkan dengan baik pemilihan nama Nusantara tersebut.

Nusantara sebagai nama IKN tentu tidak boleh menggantikan kata Indonesia pada masa mendatang. Terlebih kedua kata tersebut memiliki sejarah yang panjang.

"Mohon dipertimbangkan supaya tidak ada salah persepsi di anak cucu kita nanti. Jadi secara substansial pokok-pokoknya kota faham tapi soal frasa ini harus tepat makanya mesti ke ahli bahasa," pungkasnya.

https://www.kompas.com/properti/read/2022/01/17/183000721/sebelum-bernama-nusantara-ada-80-usulan-nama-ikn-baru

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke