Gara-gara Peniti, Rini Bon Bon Nyaris Kehilangan Kaki (1)

Kompas.com - 25/05/2009, 12:32 WIB

KOMPAS.com — SIAPA sangka, lecet di ibu jari kaki bisa berakibat fatal. Itu yang terjadi pada Rini S Bon Bon alias Irni Yusnita (38). “Dia pikir luka biasa, makanya dia santai saja,” ujar Nurahmi (36), adik bungsu komedian ini. Kaki Rini pun terancam diamputasi. Berikut cerita Nurahmi.

Ini bukan kali pertama Mak Cik (kakak dalam istilah Pontianak) membeli sepatu baru untuk keperluan syuting. Tak seperti biasa, sepatu yang dibeli Mak Cik bulan Agustus tahun lalu itu terasa sempit di kakinya dan membuat ibu jari kaki kanannya lecet. Pulang syuting, Mak Cik baru sadar, di bagian jari yang lecet itu sudah terdapat luka, melenting.

Penasaran, Mak Cik memecahkan gelembung luka berisi cairan itu dengan peniti. Namun, bukannya mengering dan sembuh, pecahnya gelembung itu malah meninggalkan luka yang semakin parah. Sebagai penderita diabetes, sudah seharusnya memang Mak Cik lebih waspada menangani luka di tubuhnya. Mungkin karena dia pikir lukanya akan langsung sembuh seperti luka-luka sebelumnya, ia pun santai saja dan merasa cukup membalutnya dengan kain kasa. Bahkan kami sempat ke Mangga Dua untuk membeli keperluan puasa dan Lebaran.

Mak Cik sudah menderita diabetes mellitus (DM) sejak 1996, penyakit yang diturunkan ayah kami, Suhandi Hasan (65). Dari tujuh bersaudara, aku dan keempat saudara kandung yang lain—termasuk Mak Cik—juga mengalaminya. Bedanya, Mak Cik mengidap DM tipe 1 (basah), sedangkan kami tipe 2 (kering) sehingga proses penyembuhan luka pada Mak Cik lebih sulit.

Semakin hari, luka di kaki Mak Cik makin meluas. Plus mengeluarkan nanah dan bau tidak sedap. Tekanan gulanya pun terus naik hingga 600 (batas normal 140). Suntikan insulin sebelum makan, obat dari dokter, dan pengobatan alternatif tidak ada yang manjur. Beberapa bulan kemudian, kaki Mak Cik menghitam dan ada beberapa luka baru yang membentuk lubang di kaki atasnya. Ia juga tidak mampu berjalan lagi. Tiap kali akan menapakkan kaki, darah mengucur deras dari kakinya.

Setiap malam ia merasakan ngilu dan perih. Kadang suhu tubuhnya meninggi. Dia hanya bisa menangis dan berujar, “Kalau begini terus, lebih baik saya mati saja.” Malah kami pikir, Mak Cik memang akan meninggal malam itu. Makanya, ibu kami, Muningsih (61), sering berkata pada Mak Cik, “Rin, Ibu sudah pasrah kalau kamu pergi duluan. Kamu juga harus pasrah, ya.”

Ayah dan Ibu memang sangat menyayangi Mak Cik. Maklum, sejak Ayah tidak bekerja (tahun 90-an), selain Kak Nung (anak ketiga), Mak Cik-lah yang membiayai kebutuhan keluarga kami. Pernah, suatu malam, aku bertanya pada Mak Cik, apa yang paling memberatkan hatinya kalau dia “pergi” lebih dulu dari kami. Jawabnya, dia sangat sedih karena harus meninggalkan Ayah, Ibu, dan juga Ferdi, keponakan dari kakak sulung kami. Sejak balita, Ferdi tinggal dan diasuh Mak Cik serta dibiayai hingga kuliah. (Bersambung....)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Komentar
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com