Jembatan Putus dan Gadis "Lollipop"

Kompas.com - 21/01/2012, 14:55 WIB

Oleh Ella Syafputri
 
Pagi itu, puluhan remaja tampak asyik duduk teratur membentuk antrean. Mereka bercakap-cakap seru demi membunuh waktu, berharap bisa dapat posisi paling dekat dengan panggung konser nanti malam.

Dengan sempurna si juru kamera merekam aktivitas para penggemar Katy "Lollipop" Perry tersebut dan disiarkan lewat berita televisi nasional.

Sebagian besar dari calon penonton konser adalah perempuan, usianya tak lebih dari 20 tahun. Mereka rela duduk sejak pagi walaupun konser baru bakal dimulai nanti malam pukul sembilan.

"Iya ... saya sebenarnya bolos sekolah nih!" ujar salah seorang remaja putri yang disodori pertanyaan oleh wartawan dan tanpa malu-malu lagi si gadis memilih untuk "nongkrong" di depan pintu masuk tempat konser daripada pergi bersekolah.

Berdasarkan narasi pembawa berita di televisi, para pembeli tiket konser Katy Perry "The California Dreams Tour 2012" ini rela merogoh kocek dalam-dalam untuk menyaksikan aksi panggung idolanya.

Harga tiket paling murah adalah Rp650.000, lalu meningkat ke Rp850.000, Rp1,25 juta, Rp1,7 juta, Rp1,9 juta, dan yang paling mahal adalah Rp2,7 juta.

Lalu di manakah para calon penonton yang rela menunggu sejak pagi itu? Mereka adalah pemegang tiket "pink" yang akan berdiri dan paling dekat dengan panggung. Harga tiketnya adalah Rp1,9 juta. Ya ... 1,9 juta rupiah!

"Abis udah ngefans banget sih ... harga enggak masalah," itu komentar salah seorang penonton Katy Perry, kalau-kalau ada pertanyaan mengapa orang rela menghabiskan demikian banyak uang untuk menonton sebuah konser.

Harga mungkin bukan masalah bila hati sudah terlanjur kepincut. Toh mahal dan murah adalah relatif, itu kata mereka.

Tapi tidakkah terasa kecut bila pada hari yang bersamaan dengan konsernya penyanyi Amerika itu, ada berita soal jembatan putus di Kabupaten Lebak dan Garut.

Akibat jembatan yang kini cuma didukung oleh satu tali itu, anak-anak sekolah terpaksa harus bertaruh nyawa untuk pergi belajar. Mereka tampak mirip sekali dengan aksi "outbond" hanya bedanya ini benar-benar tanpa tali pengaman apalagi pelindung kepala.

"Mesin Uang"

Antusiasme penonton Indonesia untuk menyaksikan konser artis asing memang luar biasa.

Histeria mereka bukan cuma melibas kata mahal untuk bandrol harga tiket, tapi juga menghapuskan kelelahan hingga rela mengantri dan mengantri.

Untuk konser Katy "Lolipop" Perry, penjualan 5.000 lembar tiket konser yang dibuka 27 November tahun lalu membuat orang menyerbu bahkan rela mengantre semalaman di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta.

Atau coba tengok para "Belieber" yang semangatnya untuk menonton konser tidak bisa lagi dideskripsikan dengan kata antusias. Mereka bukan hanya rela antre tiket, antre masuk ruang konser, tapi tatkala ruas jalan tol menuju Sentul macet total pun mereka rela berjalan kaki untuk sampai ke tempat tujuan.

Yang berjalan kaki menyusuri jalan tol ini mungkin terpaksa demikian, karena sudah terlanjur beli tiket mahal dan sudah dandan habis-habisan, siapa tau!

Mendadak Indonesia jadi lokasi "bintang jatuh". Apapun aliran musiknya, pasti manggung di Indonesia dan nyaris tidak pernah tidak habis tiketnya di pasaran.

Persetan dengan umur, tak jarang penonton konser adalah mereka yang belum lagi puber pertama tapi sudah amat fasih menyanyikan lagu-lagu sang idola.

Padahal beberapa tahun lalu Indonesia jelas tidak dilirik oleh management artis asing.

Tahun 80-an, 90-an, jarang sekali penyanyi yang benar-benar kesohor di jagad hiburan internasional sudi "mengamen" di Indonesia. Alasan mereka mungkin tak lepas dari anggapan bahwa Indonesia tidak aman, kebanyakan orang di Indonesia miskin, dan banyak lagi faktor lain.

Tapi sekarang sudah beda ceritanya. Artis-artis yang di negerinya sudah tidak laku pun tetap sold out tiket konsernya di Indonesia.

Bahkan artis yang belum benar-benar kesohor juga sukses mendulang banyak uang karena berkonser di Indonesia.

Jadilah Indonesia "mesin uang" buat siapa saja yang membuat konser-konser itu terselenggara. Mulai dari agen si artis, promotor, penjual tiket, penyedia wahana, dan daftarnya terus memanjang.

Patut untuk diakui, kinclongnya pasar hiburan konser di Indonesia terlalu menggoda, sampai-sampai muncul celetukan, "Artis yang di negerinya sudah tidak laku, ngamennya di sini deh! Pasti laku."

Mungkin harus dibuatkan riset tentang kenapa Indonesia jadi lokasi konser demikian banyak artis asing. Apakah karena Indonesia sudah dianggap aman dari aksi teroris, atau karena kelas ekonomi menengah atas sudah berlipat-lipat jumlahnya, atau entah apa?

Benarkah di negeri Paman Sam yang nyaris bangkrut itu para artis sudah kesulitan mendulang rejeki? Atau mungkin memang populasi dan daya beli di Indonesia yang terlalu menggiurkan sehingga para artis pun bergiliran "merengguk" untung dari para fans mereka di sini?

Menerka Sensitifitas

Terlepas dari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas, tetap perlu kiranya publik untuk melihat kritis dua kejadian ini: 5.000 orang membeli tiket konser mahal dan dua jembatan penghubung desa yang nyaris putus. Jembatan belum diperbaiki karena hambatan dana.

Kabupaten  Lebak dan Garut jaraknya tidak begitu jauh dari Jakarta. Tidak begitu jauh dari Sentul tempat konser yang sempat dipadati oleh fans si gadis "lollipop".

Jembatan penghubung antar desa rusak akibat diterjang luapan air sungai. Walaupun satu dari dua talinya putus, jembatan tetap jadi andalan karena warga enggan mengambil rute memutar yang membuat jarak tempuh 5 kilometer lebih jauh.

Mungkin karena jembatan adalah fasilitas umum, maka jembatan rusak adalah tanggung jawab pemerintah setempat. Mungkin pula pemerintah kabupaten sudah tinjau jembatan rusak - setelah melihat beritanya di televisi - tapi belum bisa buat jembatan baru karena belum dianggarkan di rencana belanja tahun ini.

Para pejabat jelas tidak memberikan tauladan sensitifitas terhadap kemiskinan, busung lapar, pengangguran, demonstran yang menjadi gila karena suaranya tidak pernah didengar oleh wakilnya di DPR. Mereka asyik sibuk mempernyaman fasilitas-fasilitas atas nama tugas negara yang mereka emban.

Gedung dan kendaraan mewah, gaji dan tunjangan yang melimpah, tidak ada batasnya kecuali langit barangkali.

Tapi tunggu dulu. Yang tidak menunjukkan sensitifitas itu juga masyarakat luas terhadap sesamanya. Anggota masyarakat non-pejabat terhadap sesama anggota masyarakat non-pejabat.

Buktinya, tersedia anggaran berjuta-juta untuk hobi nonton konser artis asing, tapi tidak untuk membantu langsung kesulitan mereka yang miskin atau sakit.

Pejabat dan rakyatnya sama saja.

Yang pejabat nasional berdalih, "Ini kan fasilitas untuk menunjang kinerja", jadi wajar kalau harga kursi dan mobil dinasnya mahal barangkali. Lalu pejabat lokal bilang, "Belum ada anggaran perbaikan jembatan, tapi akan coba dimasukkan tahun ini."

Sementara yang rakyat berkecukupan dengan enteng berkata "Konser kan pengalaman seumur hidup sekali. Jadi berapapun harga tiketnya saya beli".

Kalau sudah begini, siapa yang akan membantu siswa itu pergi ke sekolah dengan aman?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Komentar
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com