Sebaik-baik Manusia adalah yang Bermanfaat buat Sesama

Kompas.com - 13/09/2011, 05:31 WIB

 Pengantar Redaksi

Man jadda wajada. Kata mutiara sederhana yang berarti siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil itu menjadi penting di tangan Ahmad Fuadi (38). Dengan ”jimat” itu, pekerja sosial dan mantan wartawan tersebut menuai sukses dalam kariernya sebagai penulis. Dua dari trilogi novelnya yang sudah beredar, Negeri 5 Menara dan Ranah 3 Warna, mendapat sambutan luar biasa.

Spirit man jadda wajada itu kini dia tularkan, tidak melulu melalui novel atau tulisan, tetapi juga bergiat di pendidikan orang tidak mampu. Lewat Komunitas Menara yang berbasis relawan (volunteer), Fuadi bercita-cita menyediakan sekolah, perpustakaan, rumah sakit, dan dapur umum secara gratis bagi kalangan yang tidak mampu.

Kini, Negeri 5 Menara yang mendapat penghargaan Anugerah Pembaca Indonesia 2010 difilmkan Million Picture dan KG Production.

Fuadi merasa inilah jalan hidupnya, menulis dan menjadi pembicara untuk berbagi.

Kira-kira film Negeri 5 Menara sebagus yang di novelnya enggak, ya? Soalnya, kan, banyak film yang diangkat dari novel, tapi banyak penggemar novelnya sedikit kecewa setelah menyaksikan filmnya.

(Simple Yhe, xxxx@yahoo.com)

Sebetulnya film dan novel adalah dua karya berbeda sehingga sulit dibandingkan. Novel saya 405 halaman, sedangkan durasi film hanya sekitar 1,5 jam sehingga tidak mungkin semua cerita novel akan masuk ke dalam film. Selain itu, dalam proses adaptasi, penulis skenario, Salman Aristo, menambah dan mengurangi cerita untuk memperkuat alur cerita. Walau begitu, semangat man jadda wajada di novel semoga tetap berdenyut kuat di film ini. Bagi saya, yang terpenting adalah bagaimana novel dan film saya ini bisa bermanfaat dan menyemangati. Saya ingin mengamalkan petuah Nabi Muhammad SAW, ”Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat buat orang lain.”

Saya termasuk pembaca yang banyak mendapat inspirasi dari buku Mas Fuadi.

Di buku kedua, ada beberapa kalimat yang menceritakan bahwa Mas Fuadi menuliskan peristiwa-peristiwa yang dialami ke dalam buku harian. Apa peranan diary tersebut untuk penyusunan-penyusunan buku Mas Fuadi?

(Nur Hatijah, Surabaya)

Diary, foto, dan surat-surat yang saya tulis pada tahun 1988-1995 membantu mengembalikan memori 20 tahun lalu ketika saya sekolah di Pondok Modern Gontor. Kebetulan semuanya masih tersimpan rapi walau kertasnya sudah menguning. Selama proses menulis novel, di meja kerja saya bertumpuk diary sejak SMP, foto, dan surat yang saya kirim ke Amak selama empat tahun. Amak rupanya juga masih menyimpan semua surat ini.

Dokumentasi pribadi ini menjadi bahan luar biasa dalam riset saya menulis novel trilogi ini: Negeri 5 Menara, Ranah 3 Warna, serta novel ketiga yang sedang saya garap. Mohon doa, novel ketiga (judulnya akan pakai angka 1) bisa terbit tahun depan setelah film Negeri 5 Menara dirilis awal tahun.

Apakah alur novel Negeri 5 Menara dan Ranah 3 Warna benar-benar persis dengan kehidupan Mas A Fuadi? Kalau boleh tahu, sudah pernah ke berapa negara?

(Sitti Rasuna Wibawa, Jakarta Selatan)

Keduanya bukan biografi, melainkan novel, artinya karya fiksi. Tapi, kerangka besar kedua novel ini diinspirasi oleh cerita saya pribadi, dengan penambahan dan pengurangan di sana-sini. Kalau diibaratkan sebuah bangunan, tiang utama bangunan itu adalah kisah nyata, sedangkan gorden, jendela, pintu dan lain-lain bisa saja tambahan.

Iya, kebetulan saya suka fotografi dan traveling. Berdua bersama Yayi, istri saya, yang juga editor novel saya, kami beruntung telah menjelajah sekitar 30 negara.

Saya

ingin tanya, apakah sulit tes-tes yang harus dilalui saat ingin memasuki Pesantren Gontor? Kapan film Negeri 5 Menara dirilis? Apakah Kak Fuadi memiliki alamat

e-mail/Facebook/Twitter?

(Ayuki, Tangerang)

Ada tes lisan dan tulis yang perlu persiapan serius. Persaingan ketat sehingga kalau setengah-setengah, biasanya tidak lulus. Yang mendaftar tiap tahun bisa ribuan orang dan yang diterima hanya ratusan. Apa saja yang diujikan? Coba cek www.gontor.ac.id.

Insya Allah film akan tayang awal 2012. Untuk Twitter, silakan follow @fuadi1, FB fan page Negeri 5 Menara dan Ahmad Fuadi, serta e-mail di negeri5menara@yahoo.com.

Berdasarkan pengalaman hidup Bang Fuadi, apakah saran dan nasihat yang bisa Bang Fuadi sampaikan bagi para fresh graduate yang ingin berkarier di tingkat internasional dan memasuki kancah persaingan global?

Bagaimana pula cara membangun networking yang sukses?

(Laksmi Amalia, Sleman, Yogyakarta)

Laksmi, saran singkatnya: terapkan spirit man jadda wajada. Siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil.

Pertama, tentu mempersiapkan diri dengan membekali diri kita dengan kemampuan bahasa asing yang baik, kemampuan menulis, dan rajin mencari peluang. Alhamdulillah, saya bisa belajar gratis di Kanada, Singapura, Amerika Serikat, dan Inggris, serta kerja di luar negeri, antara lain karena dibantu oleh skill bahasa dan menulis.

Jadi, kombinasi niat yang kuat, usaha yang dilebihkan di atas rata-rata, dan doa biasanya berakibat keberhasilan. Ingat syair Imam Syafi’i, ”Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.”

Bang Alif Fikri, di Ranah 3 Warna, Abang kayaknya cinta banget ama Raisa dan kayaknya Raisa jadi salah satu motivasi Alif untuk

lebih baik. Mbak Yayi, kan, ikut nulis dan mengedit ceritanya. Apa dia enggak cemburu, tuh?

(Iman Santosa, xxxx@gmail.com)

Wah, nama saya Ahmad Fuadi, he-he-he. Alif Fikri itu adalah tokoh di novel. Trilogi ini tetap novel yang sebagian fiksi. Jadi, tidak semuanya nyata. Yayi tidak hanya sekadar mengedit, tapi jadi teman diskusi saya selama menulis. Bahkan, dia malah ikut menyumbang berbagai plot cerita, selain mengedit. Jadi, jangan-jangan dia berhak ditulis sebagai salah satu penulis di cover novel saya. Tentang apakah Yayi tidak cemburu, nah, kita harus tanya Yayi langsung.

Bagaimana membagi konsentrasi menulis dengan aktivitas/pekerjaan lain?

(Dewi Amalia, xxxx@yahoo.co.id)

Saya menulis Negeri 5 Menara ketika masih kerja full time. Yang saya lakukan adalah mewajibkan diri untuk menulis setelah subuh paling tidak 30 menit, lalu saat jam makan siang atau malam sekitar 30 menit lagi. Prinsipnya, sedikit-sedikit lama-lama menjadi buku. Ternyata, setelah 1,5 tahun mencicil menulis dengan cara itu, novel saya selesai juga.

Jadi, menurut saya, jangan menunggu mood, tapi menulislah dengan teratur tiap hari, walau hanya satu alinea.

Bagaimana usaha Mas agar orang seperti saya dapat mencintai novel yang made in Indonesia?

(Donal Turnip, xxxx@yahoo.com)

Saya sendiri dulu juga jarang baca novel. Istri sayalah yang memperkenalkan bahwa membaca novel itu bisa menambah pemahaman, pengetahuan, dan kearifan tentang orang lain dan diri kita. Setelah saya coba baca novel yang bermutu, ternyata memang memperkaya wawasan.

Jadi, kalau ingin lebih memperkaya isi hati dan kepala, membaca novel yang bermanfaat adalah salah satu cara yang baik. Kalau tidak percaya, coba, deh.

Anda berhasil mendapatkan banyak beasiswa. Bagaimana caranya supaya berhasil mendapatkan

beasiswa luar negeri dengan nilai rata-rata yang pas-pasan.

(Sumardjo, Jakarta Barat)

Menurut saya, ada dua kunci utama mendapatkan beasiswa luar negeri. Pertama, beasiswa itu banyak sekali, tapi informasinya tersebar di mana-mana. Tidak ada cara lain selain berusaha habis-habisan mencari informasinya.

Keinginan saja tidak cukup, harus riset berbulan-bulan untuk dapat beasiswa itu, bisa mulai dari Google dan milis, seperti beasiswa@yahoogroups.com. Kedua, beasiswa itu bukan buat orang pintar, tapi buat yang bersungguh-sungguh, yang melebihkan usaha di atas orang lain. Yang man jadda wajada. Silakan baca juga tips beasiswa yang saya tulis di www.negeri5menara.com.

Sebagai (mantan) santri, pelajaran apakah yang diperoleh dari pondok pesantren yang Anda praktikkan dalam dunia kepenulisan? Bagaimana cara mengembalikan pandangan masyarakat terhadap santri—umumnya pesantren—yang dinilai tidak maju, kontra dengan perubahan, serta berbagai pandangan negatif lain?

(Agus Hidayat, Purwakarta)

Pertama, kiai saya di Gontor selalu bilang, pesantren bukan tempat belajar agama karena belajar agama itu bisa di mana saja, bahkan bisa dengan membaca buku. Namun, pesantren adalah tempat belajar kehidupan secara total, membangun karakter, mempraktikkan pembiasaan yang baik selama 24 jam.

Di Gontor, kami belajar cara belajar, learn how to learn, etos kerja sampai tujuan hidup. Kami juga diwajibkan untuk menulis insya’ (karangan) tiga kali seminggu dan teks pidato dalam tiga bahasa. Semua tulisan itu diperiksa dengan ketat.

Menurut saya, segala pembiasaan positif ini memudahkan saya menulis sampai sekarang. Menulis perlu etos kerja keras dan kejernihan visi tentang hidup. Kedua, ada puluhan ribu pesantren di Indonesia, dengan berbagai metode, ukuran, dan mutu. Saya yakin mayoritas pesantren itu mengajarkan kebaikan dan perdamaian.

Saya harap novel saya bisa melengkapi wawasan masyarakat tentang pesantren secara umum walau yang saya ceritakan adalah pesantren dengan metode modern.

Saya tertarik dan terinspirasi dengan cerita Wa’ang. Bagaimana caranya bisa mendapatkan beasiswa? Apakah mantra man jadda wajada dan man shabara zhafira relevan untuk seluruh umat Muslim?

(M Faizal Ardi, Kaliwungu, Kendal, Jateng)

Ha-ha-ha, wa’ang itu panggilan informal untuk orang yang lebih muda dari kita atau sepantaran. Yang lebih pas mungkin sanak.

Saya kira ”mantra” yang sebetulnya adalah pepatah berbahasa Arab yang diajarkan kepada kami di Gontor itu relevan untuk semua orang, lintas agama, lintas geografis, lintas budaya.

Saya kira orang-orang sukses di dunia, mulai dari Thomas Alva Edison, Bill Gates, Steve Jobs, Rafael Nadal, sampai Lionel Messi, telah mempraktikkan mantra itu. Keduanya adalah mantra kesuksesan yang sangat universal. Kebetulan yang saya populerkan berbahasa Arab.

Setelah memiliki pengalaman sekolah dan bekerja di luar negeri, adakah saat ini

keinginan untuk kembali bekerja di luar negeri? Apa peran penting wanita dalam Islam dan apa pendapat Abang tentang poligami?

(Agustina Parwitosari, Jakarta)

Saya sudah pernah kerja di AS. Lalu, setelah pulang ke Indonesia, pernah mendapatkan tawaran bekerja lagi di Inggris dan AS. Tapi, saya dan Yayi memilih untuk tetap di Indonesia karena kami merasa akan bisa memberi kontribusi lebih berarti di Tanah Air. Misalnya, saat ini kami mendirikan Komunitas Menara, sebuah lembaga sosial untuk membantu pendidikan warga yang kurang mampu. Kami mulai dengan mendirikan sekolah anak gratis. Sebagian besar dananya dari royalti buku saya. Kalau tertarik jadi relawan, bisa cek kegiatan kami di www.negeri5menara.com/komunitas.

Menurut saya, di masa kemunculan Islam, agama ini membukakan banyak pintu kemerdekaan buat wanita, dan sebaiknya semangat memerdekakan ini terus dikibarkan dalam koridor agama dan kepatutan sosial.

Insya Allah, untuk di keluarga, saya lebih suka mempunyai cinta eksklusif, hanya satu istri.

Bagaimana cara menghilangkan pandangan bahwa seorang santri itu kolot, padahal tidak semua santri seperti itu? Buktinya, Pak Ahmad bisa sampai ke Puncak 5 Menara?

(Agung Kuswantoro, xxxx@yahoo.com)

Seperti halnya pelajar SMP atau SMA, ada yang maju dan ada yang tidak. Begitu juga anak pesantren, ada yang berhasil dan ada yang mundur atau jalan di tempat. Saya kira kiprah alumni pesantren di negara ini cukup baik, misalnya Prof M Mahfud MD, Prof Komaruddin Hidayat, Dr Hidayat Nur Wahid, KH Hasyim Muzadi, Dr Din Syamsuddin, Gus Dur, Cak Nun, Cak Nur, dan banyak lagi.

Tetapi, yang menarik, ukuran orang besar menurut para kiai di pesantren Gontor adalah seorang yang mengajarkan ilmunya di balik sebuah bukit, di bawah kolong jembatan, dengan penuh keikhlasan. Itulah orang-orang besar, yaitu bermanfaatnya ilmu dan membaginya dengan keikhlasan.

O, ya, Gontor yang berdiri tahun 1926 jauh dari kesan kolot, malah berjiwa global. Murid datang dari banyak negara, guru-guru tamatan Inggris sampai Mesir, bahasa sehari-hari adalah Inggris dan Arab. Alumni melanjutkan sekolah di mancanegara. Mungkin tidak kalah dengan sekolah umum yang bertaraf internasional.

Bagaimana tanggapan Fuadi atas banyaknya pendapat yang mengatakan bahwa Fuadi selalu mengambil

ide-ide Habiburrahman El Shirazy dan Andrea Hirata dalam novel-novelnya?

(Arkadina, Cimahpar, Bogor)

Tanggapan saya, biasa-biasa saja. Tentu saja dua penulis hebat, Kang Abik dan Bang Andrea, ikut menginspirasi saya, seperti halnya saya diinspirasi buku karya Enid Blyton, Pramoedya, Khaled Hosseini, atau JK Rowling.

Tetapi, sesungguhnya saya tidak berusaha mirip dengan orang lain, tapi juga tidak berusaha berbeda dengan orang lain. Because I am writing my own story, karena saya menuliskan kisah saya sendiri. Dan, saya berharap tulisan ini membawa manfaat buat banyak orang. Tapi, setiap orang tentu boleh bebas menilai.

Bagaimana cara untuk tetap istikamah agar mimpi-mimpi itu bisa diraih? Jazakallahu khair.

(Edi Saputro, Bojonegoro)

Pada akhirnya, tugas manusia itu hanya bercita-cita, berusaha membela cita-cita itu, berdoa, dan setelah itu serahkan kepada Tuhan yang Mahatahu apa yang terbaik buat kita.

Belum tentu yang kita impikan itu yang terbaik buat kita, begitu pula sebaliknya. Jadi, sekali lagi, selama kita sudah man jadda wajada, berusaha keras di atas rata-rata orang lain, berdoa khu?syuk, bersabar dalam proses, maka selesai dan tuntaslah tugas kemanusiaan kita. Keputusan tetap dari Yang Mahakuasa. Mari bertawakal dan mari kita ikhlaskan.

Bagaimana cara Anda menghidupkan kembali ”mantra” man jadda wajada saat ”khasiatnya” mulai luntur?

(Haris, Surabaya)

”Mantra” man jadda wajada tidak selalu sakti dan berkhasiat. Karena antara usaha keras dan keberhasilan ada jarak. Jarak itu bisa sedetik, tapi bisa juga puluhan tahun. Nah, jarak itu harus diisi dengan sabar. Sabar yang aktif dan proaktif mencari solusi yang lebih baik. Jadi, man jadda wajada saja tidak cukup, tapi harus dilengkapi dengan man shabara zhafira, siapa yang sabar akan beruntung. Dan, ingatlah bahwa gagal sekali itu biasa, bahkan berkali-kali juga biasa, karena sesungguhnya yang akan diingat terus itu adalah keberhasilan yang sekali.

Bagaimana, sih, agar kita tetap istikamah dalam meniti langkah dan melukiskan impian kita? Bagi saya, hal seperti itu terkadang cenderung membosankan dan sering ingin mengubah arah impian saya.

(Andi Hidayat Firmansyakh, Tasikmalaya)

Salam, Andi. Punyalah impian yang tinggi, dan belalah dengan sepenuh tenaga dan upaya. Lengkapi dengan sabar dan doa. Lalu, serahkan semuanya kepada Tuhan yang paling tahu mana yang terbaik buat kita.

Apa gunanya masa muda kalau bukan untuk membela impian dan berbakti kepada orang tua? Namun, kalau suatu ketika merasa impian itu bukan yang terbaik, boleh saja mengubahnya dengan menyesuaikan dengan minat dan keadaan kita.

Anda benar-benar menuliskan setiap napas dan kehidupan yang Anda lalui setiap hari dalam sebuah diary? Saya selalu mencoba melakukan, tetapi selalu putus di tengah jalan. Bagaimana cara mengonsistenkannya?

(Reza, Surabaya)

Saya berusaha menulis diary setiap hari, bahkan dulu di Gontor saya menulis sehari dalam 3 bahasa: Inggris, Arab, dan Indonesia. Saya merasa dengan menulis diary bisa meluruskan niat, memperbarui semangat, dan introspeksi. Jadikanlah menulis sebagai sebuah kebiasaan dan kebutuhan.

Saya ingin tahu pendapat Anda tentang makna pluralitas di tengah apatismenya masyarakat terhadap institusi negara.

(Khoirul Hidayati, Surabaya)

Saya kira masyarakat Indonesia salah satu masyarakat paling plural di dunia. Ada ratusan suku dan bahasa, tapi punya tali penyatu, yaitu bahasa persatuan dan identitas Indonesia. Dengan keanekaragaman ini, Indonesia telah berhasil walau ada riak di sana-sini.

Untuk kepercayaan masyarakat, saatnya pemerintah menambah investasi kepercayaan masyarakat dengan kinerja yang baik, menjaga kepastian dan penegakan hukum, dan say no to corruption. Tanpa itu semua, legitimasi pemerintah semakin mengerut

Apa pendapat Uda Fuadi tentang pembaca non-Muslim yg membaca novel Anda yang

insya Allah islami ini?

(Ukie Akhmad Marzuki, Jakarta)

Tentu senang sekali. Sebagai informasi, ketika masih berupa naskah, novel ini dibaca banyak teman yang non-Muslim. Bahkan, salah satu yang membacanya adalah Prof Bill Liddle dari Ohio State University.

Ada pula pembaca Muslim yang malah direkomendasikan oleh teman nonMuslim yang sudah membaca duluan. Jadi, cukup banyak teman non-Muslim yang membaca dan semoga mengambil manfaat dari nilai-nilai yang universal, seperti semangat perjuangan membela impian, persahabatan, kepatuhan kepada orangtua, dan cinta ilmu. Kalau diperhatikan, di novel ini tidak ada kutipan ayat-ayat dari kitab suci. Yang ada adalah nilai-nilai kebaikan universal yang diinspirasi ilmu yang saya terima di pesantren. (bee)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Komentar
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com