Biaya Mahal Revolusi Negara-negara Arab

Kompas.com - 17/07/2011, 04:25 WIB

Revolusi Arab (”The Arab Spring”) yang dimulai dari Tunisia pada pertengahan Desember 2010 kemudian menjalar ke Mesir dan menimbulkan pergolakan sipil di Bahrain, Suriah, Yaman, serta negara-negara Arab lain, harus dibayar dengan biaya sangat mahal. Musthafa Abd Rahman

Menteri keuangan Jordania, Mohamed Abu Hamur, dalam sebuah konferensi tentang perbankan Arab di Roma, Italia, akhir Juni lalu mengungkapkan, ada dana keras sekitar 500 juta dollar AS yang akhir-akhir ini lari setiap pekan dari negara-negara Arab ke Eropa, AS, dan Asia.

Presiden Suriah Bashar al Assad dalam pidato terakhirnya di Universitas Damaskus pada pertengahan Juni lalu mengingatkan, akan ambruknya perekonomian Suriah jika terus berlanjut aksi unjuk rasa di negara itu.

Kamar dagang dan industri Yaman pada pertengahan Juni lalu juga mengingatkan, akan hancurnya perekonomian negeri itu bila krisis politik terus berlanjut tanpa solusi seperti sekarang ini.

Gubernur bank sentral Tunisia, Mustapha Kemal Nabali, pada awal Mei lalu mengatakan, kondisi ekonomi Tunisia saat ini sangat sulit akibat revolusi di negara itu.

Suriah 

Suriah mengalami kerugian cukup signifikan pada kuartal II tahun 2011 ini, menyusul maraknya aksi unjuk rasa anti-rezim Bashar al Assad pada periode itu. Lembaga keuangan dan pasar modal Suriah berusaha mengontrol volume perdagangan saham di negara itu sehingga tetap berada dalam volume yang normal.

Namun upaya itu gagal, karena sudah telanjur tertanam ketidakpercayaan investor sehingga yang terjadi adalah aksi jual saham secara kolektif dan sedikit sekali ada aksi membeli.

Perbankan Suriah juga mengalami pukulan karena ada penarikan deposito hingga mencapai jumlah satu milliar dollar AS (mendekati Rp 9 triliun) begitu meletus aksi unjuk rasa anti-rezim pada pertengahan Maret lalu atau pada akhir kuartal I tahun ini. Masih belum ada data resmi, berapa jumlah deposito yang hengkang dari perbankan Suriah pada kuartal II tahun 2011 ini.

Kalangan perbankan pun semakin cemas atas dampak dari sanksi Pemerintah AS dan Eropa terhadap para pejabat dan institusi di Suriah.

Sumber kecemasan kalangan perbankan itu adalah jika sanksi tersebut berkembang, dari hanya berbentuk pembekuan rekening dan aset pejabat serta institusi Suriah di Eropa dan AS, ke tindakan pencegahan atau pengontrolan aliran dana dari para pejabat dan institusi yang terkena sanksi itu di jaringan perbankan internasional.

Jika hal itu terjadi maka sama saja memberi sanksi pada perbankan Suriah karena telah membatasi lingkup kerja perbankan Suriah.

Sektor wisata di Suriah mengalami keterpurukan pula. Sektor wisata dikenal merupakan salah satu sumber utama devisa di Suriah. Pemerintah Suriah beberapa tahun terakhir ini berhasil mendapat dana investasi sebanyak 6 miliar dollar AS untuk pembangunan fasilitas wisata dengan target bisa mendatangkan 6 juta wisatawan mancanegara setiap tahunnya.

Namun target itu segera buyar. Kementerian pariwisata Suriah pekan lalu mengungkapkan, tingkat hunian hotel di Suriah pada musim panas ini yang juga dikenal musim wisata mencapai titik nol.

Di Yaman, nilai mata uang riyal mengalami penurunan hingga 20 persen, yakni terparah selama lima tahun terakhir ini. Kini, 1 dollar AS sama dengan 240 riyal Yaman.

Cadangan devisa Yaman juga mengalami penurunan telak dari 8,3 miliar dollar AS pada akhir tahun 2010 hingga hanya 4,1 miliar dollar AS pada akhir Mei lalu. Penurunan tingkat ekspor minyak Yaman akibat peledakan pipa minyak di provinsi Maarib (Yaman Timur) pada bulan April lalu oleh sekelompok bersenjata, membuat negara itu mengalami kerugian 10 juta dollar AS per hari. Kerugian Yaman akibat penyusutan ekspor minyak itu hingga saat ini diperkirakan lebih dari satu miliar dollar AS. Padahal, sektor minyak merupakan 70 persen sumber devisa Yaman.

Penurunan pendapatan devisa dari sektor minyak tersebut membuat anggaran belanja negara itu mengalami defisit hingga 3,75 miliar dollar AS pada tahun ini.

Sektor wisata juga mengalami pukulan telak. Menurut analis wisata asal Yaman, Fatimah al Haribi, sektor wisata mengalami kerugian lebih dari 100 juta dollar AS akibat terhentinya sama sekali aktivitas wisata di negeri itu.

Di Libya, gerakan revolusi yang segera beralih menjadi perang saudara telah menghancurkan perekonomian dan infrastruktur negara itu. Libya yang 95 persen sumber devisanya berasal dari minyak, kini mengalami penurunan nilai investasinya di luar negeri, dan perusahaan asing yang beroperasi di negara itu membekukan aktivitasnya serta memulangkan para pegawainya. Investasi Turki misalnya, mengalami kerugian 15 miliar dollar AS (hampir senilai Rp 13,5 triliun) akibat terhentinya bisnis mereka di Libya.

Di Tunisia, sektor wisata yang merupakan tulang punggung perekonomian negara itu mengalami kerugian signifikan. Arus wisatawan yang datang ke Tunisia tahun ini mengalami penurunan hingga 54 persen, dan pendapatan devisa dari sektor wisata juga merosot hingga 50 persen. Pendapatan devisa dari sektor wisata pada periode dari 1 Januari hingga 10 Mei lalu hanya sekitar 292 juta dollar AS berbanding sekitar 600 juta dollar AS dalam periode yang sama pada tahun lalu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Komentar
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com