Den Pobedi: Bunga, Pita, dan Patriotisme

Kompas.com - 22/05/2011, 22:04 WIB

KOMPAS.com - Kapankah hari yang paling seru di Rusia? Itulah hari kemenangan (Den Pobedi) terhadap Nazi yang jatuh pada setiap 9 Mei. Semua warga bersama pegawai pemerintah berhenti melakukan aktivitas kecuali bersorak sorai. Waktunya para pelancong menikmati parade militer akbar dan aneka atraksi kesenian secara gratis.

Ditemani matahari yang mencorong, semua kota di Rusia bersolek habis. Rakyat negeri Beruang Putih (dulu Beruang Merah) itu sejak pagi keluar rumah menuju taman dan jalan utama. Para veteran yang berpakaian resmi dengan brevet perangnya tiba-tiba muncul bak bunga tulip di musim semi. Ribuan tentara berbaris rapi. Tank dan semua senjata ultra modern bermoncong hulu ledak nuklir dipamerkan di jalan-jalan. Pesawat tempur meraung-raung di udara. Dan, para pemimpin negeri bersama tamu negara menyaksikan parade militer di pusat kota.

Sore harinya, di banyak lapangan terdapat hiburan bagi masyarakat. Siapa saja bisa menonton opera, balet, musik rock hingga orkestra klasik tanpa dipungut biaya. Beberapa transportasi membebaskan ongkos bagi para penumpangnya. Semua media menyiarkan kemeriahan perayaan. Dan tepat di tengah malam, kembang api menyembur ke udara dalam berbagai bentuk dan warna. Semua orang dijamin tidak ada yang cemberut.

Hari itu, bunga merupakan simbol paling populer. Hampir semua warga memegang bunga dalam jumlah yang bervariasi. Ketika bertemu dengan veteran perang ataupun tentara, satu per satu bunga disampaikan. Mereka menghargai pahlawan-pahlawannya. Mereka mencintai militernya yang akan melindungi negaranya dari aneka serangan musuh. Pemandangan yang luar biasa. Suatu momentum penting dimana anak cucu diingatkan tentang patriotisme dan gelegak kepahlawanan.

Momentum sejarah

Meski setiap tanggal 9 Mei selalu dilalui dengan kemeriahan, namun terdapat beberapa kali puncak peringatan. Antara lain yang terjadi pada tahun 2010, bertepatan dengan 65 tahun Den Pobedi. Tidak heran, sebanyak 20-an kepala negara berkumpul di Moskwa. Ada Presiden China, Kanselir Jerman, Presiden Vietnam, Israel, Estoria, Kazahstan, Mongolia, Slovakia dan banyak lagi lainnya. Hari itu, mereka bersama-sama merayakan kemenangan sekutu, khususnya Uni Soviet, di Lapangan Merah Kremlin. Kegiatan diakhiri dengan meletakkan karangan bunga sebagai simbol penghargaan bagi para pahlawan Rusia pada Perang Dunia II.

Setiap 9 Mei, Pemerintah bersama rakyat Rusia menyorakkan kemenangan perang paling akbar. Memperingati detik-detik menegangkan di musim semi tahun 1945. Di bawah matahari musim semi yang sudah hampir sampai ke peraduannya, Nazi yang diwakili Marshal Wilhelm Keitel akhirnya menandatangani traktat takluk kepada Marshal Georgy Zhukovin dari Uni Soviet. Markas tentara di Berlin-Karlshort menjadi saksi bisu dari sebuah perang panjang nan melelahkan.

Menurut catatan, aksi saling bunuh di berbagai negara selama 6 tahun tersebut telah melibatkan sekitar 100 juta tentara dengan mengerahkan seluruh potensi ekonomi, industri, ilmu pengetahuan serta tidak membedakan antara sipil dan militer. Inilah konflik terbesar dalam sejarah peradaban manusia yang menyebabkan sekitar 60 juta orang jadi korban, termasuk 20 juta tentara dan 40 juta rakyat sipil. Kejamnya perang ini terlihat dari banyak rakyat sipil yang mati karena penyakit, kelaparan, pengeboman massal serta genosida.

Bagi Uni Soviet saat itu, Perang Dunia Kedua merupakan sebuah penderitaan yang tak terperikan. Beberapa kota di negeri Beruang Merah ini diinvasi oleh Jerman. St. Petersburg misalnya, sempat dikepung selama 3 tahun sehingga rakyatnya banyak yang kelaparan dan terpaksa makan “sepatu”. Perang berakhir dengan korban paling banyak dari pihak Uni Soviet yang kala itu di bawah pemerintahan komunis.

“Perang yang mengerikan itu membawa kematian 27 juta rakyat Soviet. Kita harus berterima kasih kepada para veteran dan para pahlawan. Tanpa mereka, kemungkinan kita tidak bisa hidup seperti yang kita nikmati sekarang ini. Uraaa (horeee),” teriak Medvedev di malam peringatan 2010.

Karenanya, traktat menyerah Nazi tanggal 9 Mei 1945 disusul bunuh diri sang Fuhrer di bunker Berlin langsung disambut dengan sebuah kegembiraan yang tiada tara. Untuk merayakannya, pada tanggal 24 Juni 1945 sebuah parade kemenangan besar-besaran diadakan untuk pertama kalinya di Moskwa.

Di Jerman Timur, pada masa komunis, hari kemenangan tanggal 9 Mei yang dikenal sebagai Tag Des Sieges tersebut dijadikan hari libur mulai tahun 1975 hingga tahun 1990 (runtuhnya tembok Berlin). Hari kemenangan atau Den Pobedi (Rusia) itu juga kemudian diperingati di daerah-daerah yang dulu menjadi korban kekejaman perang melawan Nazi Jerman seperti Armenia, Azerbaijan, Belarusia, Serbia, Gorgia, Israel, Kazakhstan, Kirgistan dan Moldova.

Patriotisme

Sebelum peringatan Den Pobedi di Rusia, sebuah stasiun teve biasanya mengumumkan bahwa para veteran Perang Dunia kedua melawan Nazi akan dapat menikmati bepergian rekreasi plus akomodasi ke berbagai daerah di Rusia, naik metro dan bus gratis, dan pensiunnya akan dinaikkan. Menjelang hari H perayaan, ratusan bus ber-ac berseliweran, berisi para veteran dengan puluhan brevet perangnya yang dipasang di dada. Mereka berkunjung ke pusat-pusat sejarah ditemani keluarga dan para cucunya. Wajahnya penuh bangga atas kemenangan yang diraihnya selama Perang Dunia Kedua.

Posmotrite Pozaluista (lihat), ini adalah tanda jasa perang di Berlin. Inilah brevet tertinggi dalam perang. Yang satu ini juga tanda kemenangan yang diberikan Stalin,” ujar seorang kakek yang saya temui di dekat Lapangan Merah Kremlin.

“Saya juga punya tanda jasa banyak dalam perang besar. Bahkan saya saat itu sempat menjadi Duta Besar dan diutus ke negeri Indonesia,” ujar yang lainnya.

Menurut pemilik apartemen saya, Lauryk, semua anak bangsa Rusia selalu gegap gempita menyambut Den Pabodi karena pelajaran sejarah telah menjadi sesuatu yang sangat penting di Rusia. Pada hari bersejarah itu, hampir semua orang menyematkan pita bergaris orange-coklat atau yang dikenal dengan pita St. George sebagai simbol kemenangan. Tidak hanya dipakai di baju, tetapi juga di tas dan ditalikan di kendaraan. Selain itu, meski zaman komunis sudah berlalu, anak-anak kecil dan anak muda lainnya tidak segan mengenakan peci coklat dengan gambar palu arit yang biasa dikenakan pada masa perang dahulu.

“Hari itu harus kita ingat karena merupakan sejarah besar dalam kehidupan manusia. Kakek saya juga seorang jenderal pada masa itu sehingga kami masih bisa merasakannya. Sebuah penderitaan besar akibat perang. Sebuah masa dimana manusia bisa memakan sesama (kanibal) karena sangat miskin akibat perang panjang. Pelajaran penting dari sini hanya satu, jangan ada perang lagi,” tuturnya anak muda yang masih berumur 30 tahun tersebut sungguh-sungguh.

Terlepas dari semua itu, ada kejadian unik di mata saya dalam perayaan Den Pobedi setiap tahun, yakni adanya sikap realistis dari pemerintah dan masyarakat Rusia. Meskipun mereka pernah membenci dan melakukan perang besar terhadap Nazi Jerman, rupanya dendam itu tidak berlanjut hingga kini. Semua ada batasnya dan ada pula berhentinya. Seolah kejadian masa itu tidak memiliki hubungan di masa kini.

Bisa jadi mereka memiliki kesadaran untuk membangun masa depan tanpa harus larut pada kebencian masa lalu. Dendam berkepanjangan tidak akan memberikan apapun kecuali kerugian. Hati yang kotor hanya menyulitkan kehidupan. Sejarah diingat bukan untuk membuka luka lama, namun merupakan pelajaran berharga bagi siapa pun yang mengetahuinya. Sebuah pelajaran besar bagi kita semua.

"Zdravstvuite towarisyi. Pozdravlayu vas s dnem pobedi velikoi otecestvennoi voiny (Hai teman-temanku, saya ucapkan selamat ulang tahun hari kemenangan)," teriak Inspektur upacara di Lapangan Merah Kremlin.

"Uraaaaaaaaaa (horeeeeee)," sambut para serdadu dengan kompak. (M Aji Surya, diplomat Indonesia di Moskwa, Rusia)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Komentar
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com