Kupas tuntas dan jelas perkara hukum
Ajukan pertanyaan tanpa ragu di konsultasi hukum Kompas.com
Artinya, sah atau tidak suatu perkawinan ditentukan oleh hukum agama masing-masing pasangan suami istri.
Sehingga rujukan yang kemudian menjadi acuan untuk menentukan sah atau tidaknya perkawinan merujuk pada hukum agama pasangan tersebut dan ditegaskan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Hal ini telah ditegaskan di dalam Pasal 8 huruf f UU Perkawinan menyebutkan bahwa “Perkawinan dilarang antara dua orang yang (f) mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.”
Maka daripada itu, merujuk kepada pendapat Majelis Agama Tingkat Pusat (“MATP”) yang telah menyatakan bahwa kewenangan untuk menentukan perkawinan sah atau tidaknya diatur, ditentukan dan diserahkan kepada masing-masing agama sesuai dengan ajaran dalam agama masing-masing.
Misalnya, di dalam ajaran agama Islam, wanita tidak boleh menikah dengan laki-laki yang tidak beragama Islam sesuai dengan bunyi ayat (Al Baqarah [2]: 221).
Hal ini telah ditegaskan oleh Majelis Ulama Indonesia yang menegaskan kesepakatan untuk menyatakan dan memberikan fatwa jika pernikahan beda agama yang dilakukan dalam agama Islam haram hukumnya dan membuat akad nikah dari pernikahan tersebut tidak sah secara agama.
Ataupun juga di dalam ajaran Kristen perkawinan beda agama dilarang sesuai dengan ayat (II Korintus 6: 14-18) dan ajaran agama lainnya yang juga mewajibkan perkawinan dilakukan untuk agama yang sama.
Untuk itu, dapat dikatakan bahwa perkawinan beda agama di Indonesia tidak dianggap sah bila hukum agama masing-masing menyatakan bahwa prosesi perkawinan tidak sesuai dengan ajaran agamanya tersebut.
Artinya, calon pasangan suami istri harus memiliki satu agama atau kepercayaan yang sama sebelum melakukan prosesi perkawinannya.
Mengenai ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, sejatinya pernah dimohonkan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi untuk melegalkan perkawinan beda agama di Indonesia.
Pemohon ingin pasal tersebut ditafsirkan sebagai "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sepanjang penafsiran mengenai hukum agamanya dan kepercayannya itu diserahkan kepada masing-masing calon mempelai.”
Namun Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XII/2014 menolak permohonan.
Mahkamah berpendapat dalam Pertimbangan Hukum [3.12.5], bahwa: “dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945, agama menjadi landasan dan negara mempunyai kepentingan dalam hal perkawinan. Agama menjadi landasan bagi komunitas individu yang menjadi wadah kebersamaan pribadi-pribadi dalam hubungannya dengan TYMHE. Oleh karena itu, perkawinan tidak boleh hanya dilihat dari aspek formal semata, tetapi juga harus dilihat dari aspek spiritual dan sosial. Agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan Undang-Undang menetepkan administratif yang dilakukan oleh negara.”
Sehingga, Mahkamah berpendapat dan memutuskan bahwa permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum, sehingga amar putusan, yaitu menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.
Artinya, hal ini semakin menegaskan bahwa perkawinan beda agama belum dianggap sah di Indonesia sepanjang menurut agama masing-masing perkawinan tersebut tidak sah.