Sejak Mahkamah Konstitusi (MK) berdiri pada tahun 2003, berdasarkan data yang dipublikasikan, setidaknya MK telah menerima 1.508 pengajuan permohonan pengujian Undang-Undang (UU) terhadap Undang-Undang Dasar (UUD).
Namun demikian, salah satu problematika yang mengemuka dari eksistensi keberadaan MK adalah adanya putusan MK yang diabaikan atau dikesampingkan oleh lembaga negara lainnya.
Salah satu indikatornya dapat dilihat dari respons lembaga negara lainnya yang menerbitkan peraturan perundang-undangan di bawah UU yang tidak koheren dengan putusan MK.
Atau, adanya putusan judicial review Mahkamah Agung (MA) yang bertentangan dengan putusan MK mengenai substansi yang sama.
Salah satu contohnya adalah Putusan MK No. 34/PUU-XI/2013 tanggal 6 Maret 2014 yang intinya menyatakan bahwa ketentuan Pasal 268 ayat (3) KUHAP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sebelum dibatalkan MK, pasal tersebut mengatur bahwa “permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan sekali."
Namun dengan adanya putusan MK, maka PK dalam perkara pidana dapat dilakukan lebih dari sekali.
MA merespons hal tersebut dengan mengeluarkan Surat Edaran No. 07 Tahun 2014 tanggal 31 Desember 2014 yang menegaskan bahwa PK dibatasi hanya satu kali.
Kondisi tersebut memunculkan problematika mengingat MK tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU.
Akibatnya, sikap tersebut menimbulkan tidak adanya koherensi di dalam peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan hal ini, maka layak dimunculkan gagasan perluasan kewenangan MK untuk melakukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan tidak hanya terbatas pada UU terhadap UUD 1945, namun juga peraturan perundang-undangan di bawah UU.
Perluasan kewenangan MK untuk melakukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di bawah UU seharusnya menjadi diskusi strategis.
Hal ini karena saat ini kewenangan judicial review dilakukan oleh dua lembaga kekuasaan kehakiman, yakni MK dan MA.
Pengujian UU terhadap UUD 1945 dilakukan MK, sementara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU dilakukan MA.
Pemisahan kewenangan tersebut dalam praktiknya menjadi kurang efektif dan kerap menimbulkan disharmonisasi.
Akibatnya, harapan untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan yang terjaga koherensinya dalam teori struktur piramida menjadi jauh panggang dari api.
Beberapa faktor yang menyebabkan munculnya problematika tersebut di antaranya disebabkan oleh proses persidangan judicial review di MA dan keberlakuan putusan judicial review di MA yang tidak dapat berlaku seketika.
Proses persidangan judicial review di MA patut menjadi sorotan karena proses persidangan tidak dapat diakses oleh masyarakat umum dan hanya memeriksa berkas para pihak.