Kupas tuntas dan jelas perkara hukum
Ajukan pertanyaan tanpa ragu di konsultasi hukum Kompas.com
Besaran bunga dan denda utang pinjaman online (pinjol) sampai saat ini masih menjadi polemik.
Di satu sisi, banyak pihak yang mengeluhkan tingginya bunga dan denda pinjol sehingga merugikan konsumen.
Di sisi lain, pihak pinjol memiliki argumentasi tingginya bunga dan denda, yakni aspek kemudahan memperoleh pinjaman dan besarnya risiko usaha.
Pinjol diberikan tanpa syarat administrasi yang rumit, tanpa jaminan utang, pencairan dana relatif cepat, dan risiko gagal bayar yang tinggi.
Baca juga: Penagih Utang Pinjaman Online Pakai Intimidasi hingga Ancaman Kekerasan, Ini Jerat Hukumnya
Pada dasarnya, penentuan besaran bunga dan denda pinjol diserahkan pada kesepakatan antara penyelenggara pinjol dan konsumen.
Hal ini di antaranya tersirat pada POJK No. 77 /POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
Beleid tersebut menyatakan bahwa perjanjian pinjol harus memuat besaran suku bunga yang disepakati para pihak.
Pada titik tersebut, polemik terjadi. Penentuan besaran bunga dan denda yang diserahkan kepada para pihak, telah memberikan ruang bagi penyelenggara pinjol, selaku pihak yang lebih superior, menentukan besar kecilnya bunga dan denda sesuai kehendaknya.
Sementara bagi pihak konsumen berlaku adigium take it or leave it.
Saat ini telah dibuat formulasi untuk menyikapi polemik tersebut, yakni dengan ditetapkannya besaran bunga pinjol sebesar 0,8 persen per hari oleh Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia.
Namun formulasi tersebut diterbitkan dalam bentuk kode etik asosiasi dan bukan peraturan perundang-undangan yang mengikat secara hukum.
Terlebih, bunga sebesar 0,8 persen pun masih dinilai terlalu tinggi sehingga masih perlu diturunkan.
Untuk itu, pertanyaan menarik yang perlu diutarakan terkait hal tersebut adalah, apakah ada instrumen hukum yang dapat digunakan untuk memasuki ruang kesepakatan antara penyelenggara pinjol dengan konsumen guna menekan tingginya bunga dan denda pinjol?
Pada dasarnya sistem pengaturan hukum perjanjian di Indonesia menggunakan sistem terbuka.
Artinya, setiap orang bebas mengadakan perjanjian baik yang sudah diatur maupun yang belum diatur di undang-undang.
Ini yang dalam ilmu hukum dikenal dengan asas kebebasan berkontrak.
Baca juga: Pinjol Tagih Utang dengan Ancaman Bisa Dituntut Ganti Rugi, Simak Aturannya
Pengaturan hal tersebut di antaranya merujuk Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)/Burgerlijk Wetboek atau yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Termasuk dalam pinjol. Berdasarkan pengaturan tersebut, penyelenggara dan konsumen pinjol diberikan kebebasan untuk menentukan besaran bunga dan denda pinjol.
Namun, untuk diketahui bahwa dalam perkembangannya terdapat pembatasan asas kebebasan berkontrak.