Bukan pulang dari laga pengharum negeri
Bukan pula kembali membawa medali
Disambut dengan pekik bangga
Dielu-elukan tanpa tahu cela
Di saat kita butuh prestasi
Untuk imun pengobat pandemi
Ketika korban masih ditakuti trauma
Layar kaca menampilkan dengan buta
Televisi berebut siaran penampil durjana
Di mana regulator berada dan sudahkah berguna?
Sudah waraskan akal kita?
Mari matikan televisi selamanya
PUISI yang bertajuk Matinya Akal Waras ini saya buat spontan ketika saya terperangah melihat berbagai stasiun televisi berlomba menampilkan Saipul Jamil, penyanyi dangdut yang baru saja menyelesaikan hukuman pidananya terkait kasus pencabulan anak atau pedofilia dan penyuapan panitera Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Hari pembebasan Saipul Jamil dari Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta, pada 2 September 2021 bak penyambutan pahlawan olahraga yang baru pulang dari laga internasional dengan membawa medali.
Kalungan bunga disematkan ke Saipul Jamil. Ia diarak dengan mobil terbuka. Para pengagumnya seperti buta dan tidak melihat masa lalunya yang kelam.
Korban kejahatan seksualnya yang masih diliputi trauma dianggap seolah tayangan sinetron yang terlupakan.
Baca juga: Glorifikasi terhadap Saipul Jamil Tunjukkan Lemahnya Sistem Pemulihan Korban Kekerasan Seksual
Walaupun secara hukum Saipul Jamil telah bebas karena menyelesaikan masa hukuman 8 tahun dipotong remisi 30 bulan, sebaiknya semua kalangan bisa proporsional menempatkan mantan narapidana – terlebih kasus kelainan seksual - sesuai kadar kewajaran dan norma kehidupan yang berlaku.
Ataukah memang di masyarakat kita sekarang ini – terutama para pengelola televisi – mengalami disorientasi moral dan nilai-nilai keluhuran budaya? Hal-hal tercela dianggap biasa. Hal-hal jelek dinilai baik.
Masyarakat Jawa hingga saat ini begitu malu jika disebut ”wong Jowo ilang Jawane”. Orang Jawa yang kehilangan jati dirinya. Kehilangan adab tata kramanya, tidak mengerti bahkan membuang ajaran atau kaweruh leluhurnya.
Budaya adalah jatidiri. Jatidiri adalah identitas. Kehilangan identitas akan melahirkan krisis kemanusian.
Demi mengejar rating dan menjaring iklan, stasiun televisi secara sadar memanfaatkan “kebodohan” pemirsanya dengan menampilkan Saipul Jamil secara vulgar. Stasiun televisi kekurangan akal dengan saling berlomba menyajikan tayangan yang begitu menihilkan kesuritauladanan.