Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 29/08/2023, 13:14 WIB
Krisna Diantha Akassa,
Irawan Sapto Adhi

Tim Redaksi

BERN, KOMPAS.com - Jika ada dalang wayang kulit paling laris di Eropa, Sigit Susanto adalah salah satunya.

Laki laki asal Boja, Kendal, Jawa Tengah, yang kini menetap di Steinhausen, Swiss, itu masih sering menerima tawaran pentas di Benua Biru.

"Tidak semua permintaan bisa saya penuhi, karena ada kesibukan lain yang tidak bisa ditinggalkan,“ katanya kepada Kompas.com, Senin (28/8/2023).

Baca juga: Kisah Sigit Susanto, Dalang Berbahasa Jerman Asal Kendal yang Menjelajah Eropa

Ketika ditanya apa membuat dirinya banyak menerima tawaran pentas, Sigit menjawab, kemungkinan dirinya adalah satu-satunya dalang di Eropa yang bisa tamping dengan berbahasa Jerman.

Tidak terlalu berlebihan memang. Berdasarkan penelurusan Kompas.com, belum ada nama dalang lain yang menggunakan bahasa Jerman ketika tampil di Eropa.

Dalam suatu kesempatan, Vanessa von Gliszczynski, kurator Museum Weltkulture Frankfurt, mengaku sangat sulit menemukan dalang wayang kulit dalam bahasa Jerman.

"Sigit satu satunya yang kami temukan, setelah bertahun tahun kami mencarinya,“ kata Vanessa.

Uniknya, Sigit Susanto hanya bermodal peralatan sederhana.

Koleksi wayangnya pun tidak lengkap, hanya puluhan.

Tokoh wayang Rahwana, selain digunakan dalam lakon Ramayana, juga dipakai sebagai tokoh raksasa dalam perang antara Bima dan tokoh jahat untuk lakon Dewa Ruci.

Baca juga: Cuaca Ekstrem Bayangi Rencana Ekspedisi Trilogi Alpen oleh Pendaki Indonesia

"Ada sumbangan dari KJRI Frankfurt, ada juga beli di kaki lima Malioboro, Yogjakarta, atau dapat pinjaman sana sini," kata Sigit.

Dalang Sigit Susanto saat tampil di Friede Respek und Wurde (FRW) Zug, Swiss, belum lama ini. Saking banyaknya yang ingin menonton, sekitar 20-an orang tidak bisa masuk.KOMPAS.com/Krisna Diantha Akassa Dalang Sigit Susanto saat tampil di Friede Respek und Wurde (FRW) Zug, Swiss, belum lama ini. Saking banyaknya yang ingin menonton, sekitar 20-an orang tidak bisa masuk.

Itulah sebabnya, kualitas wayang kulitnya tidak sama.

Wayang kulit sumbangan KJRI Frankfurt berkualitas bagus.

"Dari kulit sapi, dan capitnya dari tanduk," kata Sigit.

Sementara hasil beli wayang di kaki lima Malioboro, ukirannya kasar dan capitnya dari kayu. Bahkan, wajah Pandita Durna sudah mengelupas.

"Bukan karena wayang kuno, tapi memang kualitas kurang baik," katanya.

Kendati demikian, pentas Sigit Susanto selalu sold out, bahkan banyak penonton yang masuk waiting list alias daftar tunggu.

Misalnya, saat dia berpentas di Friede Respek und Wurde (FRW) Zug, Swiss, sekitar 20-an penonton tidak bisa masuk.

"Apa boleh buat, memang harus waiting list karena kami sold out," terang Mirjam Weiss, komisaris FRW kepada Kompas.com.

Mirjam juga tidak menyangka pagelaran wayang kulit yang dipadukan dengan makan malam dengan menu kari ayam dan gado gado itu, diserbu warga Zug.

Baca juga: Pendaki Indonesia Rencanakan Pendakian Tebing Maut di Gunung Eiger Swiss

"Wayang kulit sendiri saya kurang paham, tapi antusias publik Zug cukup besar," kata Mirjam.

FRW, kata Mirjam, nekad menggelar wayang kulit saat melihat kendang Jawa di salah satu rumah temannya, Stefan, penabuh perkusi.

Dari ide menampilkan musik perkusi itulah, muncul gagasan memadukannya dengan wayang kulit.

"Jadilah pagelaran wayang kulit dengan dalang Sigit Susanto," jelas Mirjam.

Dibuka dengan makan malam di kebun belakang FRW, lalu disusul dengan pagelaran Ramayana dan Dewa Ruci yang masing masing dikemas dalam 20 menitan.

Hingga usai, meskipun cuaca gerah, tidak ada penonton yang beranjak dari kursinya.

Sebelum memulai pentasnya, Sigit Susanto menjelaskan secara singkat bagaimana pertunjukan wayang kulit di Indonesia. Juga, dia bercerita proses pembuatan wayang kulit mulai dari bahan baku kulit sapi hingga menjadi figur wayang kulit yang indah.

"Publik asing menonton dengan seksama, kalau tampil di hadapan orang Indonesia agak lain, mereka kurang konsentrasi," jelas Sigit.

Walter, salah satu penonton yang datang dari Stein am Rhein, perbatasan Swiss dan Jerman, mengaku sangat senang dengan pagelaran wayang kulit ini.

"Sangat sangat suka, seperti liburan di Indonesia," akunya.

Penonton lainnya juga segendang seirama.

"Dalangnya mampu menyihir publik Zug," ucap Rahel, salah satu penonton.

Linda, salah satu penonton yang mengenal wayang kulit di Indonesia, melihat bahwa Sigit Susanto adalah sosok yang mampu menciptakan suasana meriah dengan peralatan sederhana.

"Dia tidak ragu dengan idenya, meskipun hanya didukung peralatan seadanya," katanya.

Bulan depan, Sigit Susanto akan pentas di Saint Gallen, Swiss Timur.

Baca juga: Menyaksikan Detik-detik Pelepasan Burung Nasar di Pegunungan Alpen Swiss: Dulu Diburu, Kini Disayang

"Kita lihat lah, bagaimana reaksi penonton disana," ujar Sigit Susanto.

Sigit Susanto hampir tiap bulan pentas di Swiss. Dari publik kecil sejumlah ratusan orang hingga mencapai 500 penonton. Di Frankfurt, Sigit pernah mendalang di hadapan ribuan penonton di siang hari.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Video rekomendasi
Video lainnya

Rekomendasi untuk anda

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com