Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wahyu Suryodarsono
Tentara Nasional Indonesia

Indonesian Air Force Officer, and International Relations Enthusiast

Standar Ganda ICC (Mahkamah Pidana Internasional)

Kompas.com - 24/03/2023, 08:29 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

INTERNATIONAL Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Pidana Internasional secara mengejutkan pada Jumat, 17 Maret 2023, mengeluarkan surat penangkapan terhadap Presiden Rusia, Vladimir Putin, atas tuduhan kejahatan perang yang terjadi di Ukraina. Tak hanya Putin, Komisaris Hak Anak di Kantor Presiden Rusia itu, Maria Lvova-Belova, juga turut dinyatakan oleh ICC agar segera ditangkap serta diadili.

Alasannya, kedua orang tersebut dinilai telah bertanggung jawab atas tindakan kejahatan perang, yaitu mendeportasi anak-anak Ukraina secara tidak sah ke wilayah Rusia.

ICC sejatinya merupakan lembaga peradilan internasional yang memiliki tugas untuk mengadili berbagai pelanggaran HAM berat, seperti kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, dan kejahatan terkait agresi. Lembaga peradilan ini didirikan tahun 2002 dan berkantor pusat di Den Haag, Belanda.

Baca juga: Setiap Upaya Penangkapan Putin, Berarti Deklarasi Perang Melawan Rusia

ICC memiliki wewenang memimpin penyelidikan terhadap kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh besar, pemimpin negara, serta pejabat-pejabat tingginya.

Penyelidikan ICC dilakukan melalui kantor kejaksaan yang saat ini dipimpin seorang pengacara, yang juga eks Asisten Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berkebangsaan Inggris, Karim AA Khan.

Ruang lingkup wewenangnya terbatas pada kejahatan yang dilakukan warga negara dari negara anggota, ataupun di wilayah negara anggota yang dilakukan oleh aktor-aktor lain. Saat ini, ICC beranggotakan 123 negara. Hal tersebut berdasarkan pada Statuta Roma yang ditandatangani 17 Juli 1998.

Berbagai kritik bermunculan terkait terbitnya surat penangkapan terhadap Putin dan Lvova-Belova. Salah satu kritik datang dari Joseph Kishore, Sekretaris Nasional Partai Kesetaraan Sosialis di Amerika Serikat (AS). Kishore menyampaikan bahwa status Rusia, AS, dan Ukraina sama, yaitu sama-sama bukan anggota dari perjanjian Statuta Roma yang mendorong terbentuknya ICC.

Ia bahkan mengkritik langkah ICC dengan mempertanyakan mengapa tidak melakukan hal serupa terhadap Presiden AS, George W Bush, atas dugaan kejahatan perang berupa invasi di berbagai negara. Kishore juga menyebut bahwa langkah yang dilakukan ICC tersebut murni tindakan politis, sebagai bentuk dukungan terhadap Ukraina di tengah ramainya tekanan komunitas internasional terhadap Rusia.

Hal itu, menurut dia, semakin memperjelas tujuan pemerintah AS dan NATO di tengah Perang Rusia-Ukraina, dengan melakukan backup terhadap ICC demi mempercepat terjadinya perubahan rezim di Moskwa saat ini.

 

Tampilan luar bangunan Pengadilan Kriminal Internasional atau International Criminal Court (ICC) di Den Haag, Belanda, Rabu (31/3/2023). ICC pada Jumat (17/3/2023) mengeluarkan surat perintah penangkapan Presiden Rusia Vladimir Putin atas kejahatan perang memindahkan anak-anak dari Ukraina.AP PHOTO/PETER DEJONG Tampilan luar bangunan Pengadilan Kriminal Internasional atau International Criminal Court (ICC) di Den Haag, Belanda, Rabu (31/3/2023). ICC pada Jumat (17/3/2023) mengeluarkan surat perintah penangkapan Presiden Rusia Vladimir Putin atas kejahatan perang memindahkan anak-anak dari Ukraina.
ICC Jadi Alat Politik AS?

Lantas, apakah benar bahwa lembaga peradilan internasional seperti ICC hanyalah alat bagi AS demi menerapkan “standar ganda” terhadap negara-negara yang berseberangan secara politik dengannya?

Beberapa bukti konkret secara historis memang menunjukkan terdapat keberpihakan yang dilakukan ICC dalam mendukung kepentingan AS di kancah internasional.

Pertama, ICC dalam peranannya tercatat tidak pernah mengadili berbagai kejahatan perang yang dilakukan pemimpin AS. Kritik Kishore tentang Presiden George W Bush dinilai relevan, apabila dikaitkan dengan serangkaian tindakan AS di Iraq dengan dalih preemptive strike terhadap potensi aktivitas terorisme, serta isu senjata pemusnah masal yang hingga kini ternyata tidak pernah terbukti.

Baca juga: Putin: Usulan China untuk Ukraina Bisa Jadi Dasar Perdamaian

Bila dibandingkan dengan apa yang dilakukan Putin saat ini, AS selalu terlibat dalam berbagai fenomena pembantaian mengerikan di masa lalu, seperti meledaknya bom atom Hiroshima dan Nagasaki pada Perang Dunia II, perang di Korea Utara dan Selatan tahun 1950 – 1953, hingga pembantaian massal yang dipimpin AS dalam Perang Vietnam.

Kedua, AS nyatanya dapat mengontrol pergerakan dan memberikan sanksi terhadap penyidik ICC, meskipun AS tidak pernah mengakui yurisdiksi lembaga tersebut. AS diketahui memiliki kekhawatiran bahwa suatu saat ICC dapat digunakan untuk mendakwa dan menuntut pejabat pemerintahannya atas kasus kejahatan perang, baik yang terjadi di masa lalu maupun di masa datang.

Karena itu, Statuta Roma ICC yang ditandatangani Presiden AS ke-42, Bill Clinton, tidak pernah dikirimkan ke Senat untuk diratifikasi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com