Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Moh. Suaib Mappasila
Staf Ahli Komisi III DPR RI / Konsultan

Sekjen IKAFE (Ikatan Alumni Fak. Ekonomi dan Bisnis) Universitas Hasanuddin. Pemerhati masalah ekonomi, sosial dan hukum.

Israel dan Politik Luar Negeri Indonesia

Kompas.com - 17/03/2023, 18:27 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BEBERAPA pekan terakhir, isu penolakan kehadiran warga negara Israel kembali mencuat di Tanah Air. Sebabnya, Indonesia tahun ini bertindak sebagai tuan rumah gelaran Piala Dunia U-20.

Salah satu negara yang lolos dalam turnamen tersebut adalah Israel, yang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia. Sebagai tuan rumah, Indonesia mau tidak mau bersedia menjamu tim nasional negara manapun yang bertanding di sini.

Sebenarnya, bukan baru kali ini isu penolakan atas Israel mencuat di Indonesia. Sebelumnya, banyak orang memperdebatkan rencana normalisasi hubungan diplomatik dengan Israel. Hal ini menyusulnya banyaknya negara-negara Timur Tengah yang pada saat hampir bersamaan menormalisasi hubungan dengan Israel.

Baca juga: Ankara Sebut Palestina Sambut Normalisasi Hubungan Turkiye-Israel

Antara Politik dan Olahraga

Persoalannya, bagi Indonesia, tidak ada hubungan yang perlu dinormalisasi dengan Israel. Karena Israel tidak pernah dikenal dalam nomenklatur diplomasi Indonesia. Indonesia tidak pernah mengakui adanya negara Israel, sehingga memang tidak ada yang perlu dilakukan normalisasi dengan negara tersebut.

Bila merujuk pada Pembukaan UUD 1945, alasan tidak diakuinya Israel sebagai negara, karena eksistensinya tidak sesuai dengan prinsip yang ditetapkan para pendiri bangsa kita yang menyatakan bahwa “penjajahan di atas dunia ini harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”

Bagi Indonesia, Israel adalah “penjajah”. Karena itu, menjalin hubungan diplomatik dengan Israel, bukan saja sebuah bentuk pengakuan atas eksistensi negara Israel, tapi juga sebuah pengkhianatan pada konsensus dasar kebernegaraan Indonesia.

Mungkin itu sebabnya, wacana normalisasi hubungan diplomatik dengan Israel menguap begitu saja. Sampai di sini, sikap politik luar negeri Indonesia bisa dipahami.

Hanya saja, dengan dijadikannya Indonesia sebagai tuan rumah perhelatan Piala Dunia U-20, logika politiknya bisa saja berbeda. Sebagai tuan rumah, Indonesia mau tidak mau harus menjamu semua peserta turnamen tanpa pandang bulu.

Baca juga: Kapolri Jamin Keamanan Timnas Israel di Piala Dunia U-20 di Indonesia

Andai Indonesia tetap ingin menolak, harus ada alasan jelas dan obyektif, yang bisa diterima semua bangsa di dunia untuk menolak kehadiran Tim Nasional Israel. Bila tidak, dikhawatirkan citra positif diplomasi Indonesia akan menurun drastis di mata negara-negara di dunia.

Jangan lupa, keputusan Indonesia untuk tidak menjalin hubungan diplomatik dengan Israel adalah sikap politik yang subyektif. Bagi negara lain, Israel diakui sebagai entitas kenegaraan yang berdaulat.

Pada titik ini, pemerintah Indonesia bisa saja berkilah dan tidak perlu risau dengan adanya serangkaian penolakan masyarakat di Tanah Air. Sebab, sebagai tuan rumah, Indonesia memang harus melonggarkan subyektifitasnya, dan mencair mengikuti konsensus internasional yang ada.

Sama halnya dengan Amerika Serikat (AS) yang tetap menerima semua negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, meski negara tersebut sedang bersengketa dengan AS, seperti Iran, Kuba, Afganistan, Korea Utara, dan kini Rusia.

Dengan kata lain, Indonesia harus bisa menempatkan prinsip kedaulatannya pada porsi yang tepat. Bila memang ingin berkukuh dangan prinsip yang pegangnya dalam semua konteks diplomasi, seharusnya sejak awal Indonesia tidak mengajukan diri sebagai tuan rumah perhelatan internasional yang berpotensi melibatkan negara-negara yang tidak diakui Indonesia, seperti Israel dan Taiwan.

 

Cara Soekarno

Atau, Indonesia bisa mengambil jalur ekstrem seperti yang dahulu pernah dilakukan Bung Karno di masa pemerintahannya. Kita ingat kasus serupa ini pernah terjadi di masa pemerintahan Soekarno. Tepatnya ketika Indonesia memutuskan untuk menggelar sendiri Games of the New Emerging Forces (GANEFO) atau pesta olahraga negara-negara berkembang, pada 10 November 1963.

Alasan digelarnya acara tersebut, karena ada kecaman Komite Olimpiade Internasional (KOI) pada Asian Games 1962. Indonesia dikecam karena sebagai tuan rumah tidak mengundang Israel dan Taiwan.

Indonesia tidak mengundang dua negara tersebut karena simpati terhadap Tiongkok dan negara-negara Arab.

KOI protes karena Israel dan Taiwan merupakan anggota resmi KOI. Ketika itu, Indonesia menegaskan bahwa politik tidak bisa dipisahkan dari olahraga.

Baca juga: Israel Tampil di Piala Dunia U20, Dukungan Indonesia kepada Palestina Tidak Akan Berubah

Pernyataan itu ternyata bertentangan dengan doktrin Komite Olimpiade Internasional yang memisahkan antara politik dan olahraga. Akibatnya, KOI menangguhkan keanggotaan Indonesia, dan Indonesia diskors untuk mengikuti Olimpiade Musim Panas 1964 di Tokyo. Itu pertama kalinya KOI menangguhkan keanggotaan suatu negara.

Namun Indonesia tidak tinggal diam. Sebagai kontra-skema dari keputusan KOI tersebut, Presiden Soekarno dengan berani menggelar pesta olahraga negara-negara berkembang (GANEFO) dengan Motto GANEFO 'Onward! No Retreat!’ atau “Maju Terus, Pantang Mundur!”.

Pesta olahraga itu pertama kali digelar di Jakarta pada 10-22 November 1963. Waktu itu, GANEFO diikuti sekitar 2.700 atlet dari 51 negara di Asia, Afrika, Amerika Latin, dan Eropa.

Monumen bersejarah yang merekam perlawanan diplomatik Indonesia itu tidak lain adalah Gelora Bung Karno (GBK). Stadion nasional itu dibangun selama 2,5 tahun dengan melibatkan 14 insinyur dan 12.000 pekerja sipil dan militer, dan sebagian besar pertandingan digelar di GBK.

Demikianlah, GANEFO menjadi instrumen politik yang monumental dalam mempertahankan prinsip dasar politik luar negeri Indonesia. Memang berat dan mahal, tapi sepadan.

Kini kita lihat, apakah pemerintah saat ini, yang presidennya berasal dari Partai Politik yang mengaku sebagai penerus perjuangan Bung Karno (Soekarnois), lebih memilih jalan terjal politik luar negeri Soekarno, atau akan melonggarkan prinsip diplomasinya dengan memisahkan antara olah raga dengan politik? Wallaualam bi sawab.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com