Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

20 Tahun Perang Irak, Senjata Pemusnah Massal Saddam Hussein Belum Ditemukan

Kompas.com - 16/03/2023, 10:46 WIB
BBC News Indonesia,
Aditya Jaya Iswara

Tim Redaksi

BAGHDAD, KOMPAS.com - Dua puluh tahun setelah perang di Irak, kontroversi masih berkecamuk mengenai keberadaan "senjata pemusnah massal"--alasan utama Inggris ambil bagian di dalam invasi tersebut.

Rincian terbaru mengenai pencarian senjata pemusnah massal ini telah muncul dalam seri BBC, Shock and War: Iraq 20 years on. Seri ini berisi percakapan dengan puluhan orang yang terlibat langsung di dalam momen bersejarah tersebut.

"Kaget." Itu adalah satu kata reaksi dari seorang pejabat senior Badan Intelijen Inggris (MI6), ketika diberitahu seorang rekannya pada akhir 2001. Ia baru diberi informasi bahwa Amerika sangat serius mengenai perang di Irak.

Baca juga: Sejarah Perang Irak vs Amerika: Awal Invasi, Tewasnya Saddam Hussein, hingga Pertempuran Lawan ISIS

Pejabat CIA juga mengenang keterkejutan rekan sekutunya dari Inggris. "Saya mengira mereka bakal mengalami serangan jantung tepat di meja itu," kenang Luis Rueda, kepala Operasi Grup CIA untuk perang Irak.

"Kalau mereka bukan pria terhormat, mereka mungkin akan meloncat ke seberang meja dan menampar saya."

Pesan itu segera sampai ke kantor perdana menteri Inggris. Pesan yang lebih bernuansa spionase dibandingkan dengan urusan diplomasi.

"Saya mungkin orang pertama yang berkata pada perdana menteri, 'Anda suka atau tidak suka, lekas atur strategi karena nampaknya mereka sedang merencanakan invasi," kata Kepala MI6 saat itu, Sir Richard Dearlove. Setelah itu, Sir Richard melakukan kunjungan secara berkala ke Washington.

Ini merupakan wawancaranya dengan BBC, yang jarang ia berikan kepada media.

MI6--badan intelijen luar negeri Inggris--akan terlibat secara mendalam pada salah satu periode paling kontroversial dan penting dalam sejarah perang Irak ini.

Bagi AS, isu senjata pemusnah massal adalah hal sekunder dibandingkan dorongan menggulingkan pemimpin Irak, Saddam Hussein. "Kami akan menyerang Irak bahkan kalau Saddam Hussein hanya punya karet gelang dan penjepit kertas," kata Ruede.

"Kami akan berkata, 'Oh, dia akan mencungkil mata Anda dengan alat-alat itu.'"

Bagi Inggris, untuk menjual isu perang Irak pada warganya yang masih bimbang, senjata pemusnah massal--senjata kimia, biologi, dan nuklir--adalah pilihan utama.

Sempat ada tuduhan bahwa pemerintah Inggris mengarang klaim mengenai senjata pemusnah massal, tetapi jajaran menteri saat itu mengatakan bahwa mereka telah diyakinkan oleh mata-mata mereka sendiri bahwa senjata itu memang ada.

"Ini benar-benar penting untuk dipahami, sumber intelijen yang saya peroleh adalah hal yang saya andalkan, dan saya pikir saya berhak untuk mengandalkannya," mantan PM Inggris, Sir Tony Blair berkata kepada saya.

Menjelang invasi, ia mengaku telah memperoleh restu dan kepastian dari Komite Intelijen Gabungan. Ia menolak kritik bahwa badan intelijen telah melakukan kesalahan.

Di sisi lain, sejumlah menteri lainnya mengaku memiliki keraguan.

Baca juga: Trump Sebut Keputusan Bush soal Perang Irak adalah yang Terburuk dalam Sejarah Amerika

"Tiga kali saya menanyai Richard Dearlove mengenai asal-muasal informasi intelijen tersebut," kata Menteri Luar Negeri saat itu, Jack Straw.

"Saya punya perasaan yang tidak enak mengenai hal ini. Tapi Dearlove selalu meyakinkan saya bahwa sumber intelijen ini bisa diandalkan."

Bagaimanapun, Straw mengatakan para politisi pada akhirnya yang bertanggung jawab, karena mereka lah yang membuat keputusan final.

Saat ditanya, apakah perang Irak merupakan kegagalan intelijen, Richard menjawab dengan enteng: "Tidak."

Dia masih meyakini Irak memiliki semacam program senjata. Semua hal terkait program senjata pemusnah massal mungkin telah dipindahkan melintasi perbatasan Suriah, kata dia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com