Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Catatan Setahun Perang Rusia Vs Ukraina, di Bawah Ancaman Perang Dunia dan Nuklir

Kompas.com - 25/02/2023, 07:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TIGA bulan sebelum Rusia menginvasi Ukraina pada 2022, Direktur CIA dan Duta Besar Amerika Serikat untuk Rusia, William J. Burns / Bill Burns dan John J. Sullivan, bertemu dengan salah satu penasihat "hawkish" Presiden Rusia Vladimir Putin, yaitu Nikolai Petrushev di Moskow.

Pada pertemuan tersebut, Burns menyampaikan bahwa Amerika Serikat mengetahui bahwa Rusia berniat untuk menyerang Ukraina, lalu mengingatkan bahwa negara-negara Barat akan memberlakukan sanksi yang sangat keras dan berat kepada Rusia jika invasi benar-benar ditempuh.

Menurut pengakuan Burns, Petrushev bergeming dan tidak menghiraukan peringatan tersebut, sembari seolah-olah memberi pesan melalui tatapannya kepada Burns dan Sullivan bahwa militer Rusia akan mencapai targetnya sesuai rencana yang telah ditetapkan oleh tim terbatas di Moskow.

Mereaksi respons santai tersebut, CIA kemudian membocorkan rencana Rusia tersebut kepada media New York Times, yang kemudian menurunkan berita tentang adanya penumpukan pasukan Rusia di perbatasan Rusia - Ukraina sekitar dua bulan sebelum serangan berlangsung.

Selain itu, yang lebih penting, Amerika Serikat langsung menginformasikan Kiev perihal rencana serangan Rusia ke Ukraina tersebut, sembari memberikan pelatihan militer darurat untuk pasukan Ukraina, yang ikut menjadi faktor negara itu bisa bertahan sampai hari ini.

Meski terkesan agak gagap, Moskow mereaksi bocoran informasi melalui pemberitaan media tersebut dengan berusaha membangun narasi sendiri bahwa penumpukan pasukan adalah bagian dari latihan yang biasa dilakukan di perbatasan dengan negara lain.

Dan narasi tersebut terbantahkan dengan sendirinya pada bulan Februari tahun lalu di mana invasi benar-benar terjadi.

Tidak terasa, tepat 24 Februari 2023, satu tahun sudah invasi Rusia atas Ukraina. Operasi kecil dan cepat sebagaimana yang direncanakan oleh Kremlin ternyata gagal tercapai.

Ukraina ternyata cukup mampu menandingi narasi yang dibangun oleh Rusia di satu sisi dan membangun solidaritas nasional serta internasional di sisi lain.

Boleh jadi memang karena pembocoran rencana invasi oleh Amerika Serikat di satu sisi dan Ukraina juga mengetahui hal itu di sisi lain, membuat Rusia memutuskan melakukan operasi kecil, yang kemudian gagal mencapai target.

Keputusan atas operasi kecil dengan tenggat waktu pendek memang buah dari reformasi militer Rusia pasca-Uni Soviet runtuh.

Kesatuan pasukan Rusia dipecah-pecah menjadi divisi-divisi kecil, meniru gaya Amerika Serikat, sembari sisi kualitas dan profesionalismenya terus ditingkatkan.

Hasilnya tampak cukup memuaskan ketika Rusia melakukan uji coba di Suriah saat Putin membantu pemimpin Suriah, Bashar Hafez al-Assad mengusir ISIS.

Begitu pula saat Rusia menginvasi Krimea. Putin mengandalkan satuan-satuan kecil, termasuk tentara bayaran. Targetnya ketika itu boleh dikatakan cukup tercapai.

Namun untuk menginvasi Ukraina dengan target wilayah sebesar Donbas dan Donetsk nampaknya butuh strategi yang lebih masif dan kesiapan pasukan yang lebih matang, layaknya Soviet kala menginvasi Afghanistan tahun 1979.

Lebih dari itu, target gagal tercapai karena rencana invasi hanya diketahui kalangan terbatas, yakni orang-orang dekat Putin. Walhasil, pasukan kurang siap tempur hingga ke level bawah.

Apalagi, bantahan Kremlin atas bocoran informasi CIA kepada media memperkuat keyakinan elite-elite militer di luar lingkaran orang dekat Putin bahwa tidak akan ada invasi besar-besaran sehingga persiapan komprehensif tidak dilakukan.

Kemudian, karena rencana serangan dalam skala kecil dan cepat, perencana perang di lingkaran kecil Putin melupakan strategi konvensional militer yang mewajibkan serangan udara masif terlebih dahulu untuk melumpuhkan titik-titik pertahanan strategis Ukraina, seperti strategi angkatan udara Amerika Serikat ketika melumpuhkan kekuatan Saddam Hussein tahun 2003 lalu.

Walhasil, Baghdad diduduki tidak lebih dari dua minggu setelah kampanye udara masif dilakukan.

Moskow memang melakukan kampanye udara, tapi hanya beberapa hari dan hasilnya sangat terbatas, selain tentunya faktor Ukraina yang telah mengetahui rencana invasi itu terlebih dahulu.

Instalasi strategis militer Ukraina masih bertahan dan energi listrik masih mengalir normal.

Terbatasnya pencapaian kampanye udara Rusia memberi Ukraina ruang bermanuver termasuk mengumpulkan tenaga untuk bangkit dan membangun garis pertahanan baru, agar ekspansi pasukan Rusia tidak terlalu melebar ke arah Kiev, ibu kota negara Ukraina.

Sementara di sisi lain, informasi awal yang diterima Amerika Serikat dan diteruskan kepada Ukraina berhasil menjadi bahan dasar bagi kedua negara untuk membangun komitmen, yakni Amerika Serikat dan sekutunya yang siap memberikan bantuan serta menerapkan sanksi baru untuk Moskow di satu sisi dan Ukraina siap berperang sampai titik darah terakhir guna menjaga kedaulatannya di sisi lain.

Miskalkulasi Rusia dan komitmen Barat akhirnya berhasil membuat Ukraina bertahan sampai hari ini, bahkan mampu menciptakan keseimbangan baru di medan pertempuran, yang membuat Rusia harus mengalibrasi ulang strateginya.

Artinya, perang masih akan memakan waktu lama untuk sampai pada tahapan diketahui siapa pemenangnya, kecuali ada celah diplomasi baru yang sama-sama bisa diterima oleh kedua belah pihak.

Karena kedua belah pihak kini sudah saling mengimbangi. Rusia sudah menyadari keteledorannya dengan segera melakukan mobilisasi baru di satu sisi dan membentuk garis pertahanan baru di sisi lain, sesuai textbook strategi perang milik militer Rusia.

Pun di sisi lain, karena komitmen bertahan Ukraina, negara ini mau tak mau semakin tenggelam ke dalam orbit Barat ‘dibelit’ dengan konsesi bantuan dan utang baru, yang akan membuat Ukraina semakin sulit untuk bersepakat dengan Rusia dalam banyak hal.

Walhasil, kuncian baru ini akan memperpanjang masa ketidakpastian energi di Eropa. Semakin sulit Ukraina ditaklukkan, maka akan semakin besar peluang Putin untuk memainkan energi sebagai alat tawar menawar.

Putin berpotensi meningkatkan volume larangan ekspor migas ke Eropa, yang akan membuat negara-negara di benua biru semakin dihantui inflasi tinggi.

Apalagi belakangan diindikasikan ledakan pada pipa migas Nord Stream II beberapa waktu lalu adalah ulah Amerika Serikat.

Menanggapi itu, Eropa berpeluang melakukan pembalasan dengan semakin meningkatkan bantuan untuk Ukraina di satu sisi dan menambah sanksi untuk Rusia di sisi lain, yang kemudian akan memperuncing ketegangan Rusia-Ukraina dan antara Barat dan Rusia sekaligus memperkecil peluang damai via jalur diplomasi.

Sementara bagi dunia, ujung peperangan yang semakin jauh akan meningkatkan potensi resesi global karena potensi ancaman ledakan harga komoditas bisa sewaktu-waktu terjadi jika Putin secara mendadak mengurangi suplai migasnya ke Eropa.

Ditakutkan harga-harga komoditas pokok akan kembali bergejolak, terutama komoditas yang sangat terpengaruhi oleh gejolak harga komoditas dunia, seperti yang terjadi pada kenaikan harga BBM dan gejolak harga komoditas minyak goreng pada pertengahan tahun lalu.

Tidak lupa pula, reaksi China yang masih ambigu membuat Rusia yakin bahwa negara Beruang Merah itu tidak benar-benar sendiri.

Meskipun sikap China di United Nation General Assembly menekankan pentingnya menghormati kedaulatan sebuah negara, tapi kunjungan Menlu China ke Moskow seiring dengan kunjungan Joe Biden ke Kiev membuat posisi China menjadi semakin kabur. Secara geopolitis jalur diplomasi akan semakin sulit.

Kuncian ini justru membuka peluang akan mendekatkan Rusia pada pilihan terakhirnya dalam menghadapi Ukraina dan hegemoni Barat, yakni senjata nuklir.

Langkah awal itu telah diambil Putin saat mereaksi kunjungan Presiden Joe Biden ke Kiev beberapa hari lalu, yakni dengan menyatakan bahwa Rusia keluar dari perjanjian pembatasan hulu ledak berkepala nuklir dengan Amerika Serikat atau START Treaty.

Perjanjian START adalah perjanjian pembatasan senjata strategis besar terakhir antara dua negara adidaya nuklir masing-masing Amerika Serikat dan Rusia.

Perjanjian yang dirancang pada 2009 itu ditandatangani di Praha, ibu kota negara Republik Cekoslovakia pada 2010 oleh Presiden Rusia saat itu, Dmitry Medvedev dan Presiden Amerika Serikat Barack Obama.

Isi penting perjanjian itu di antaranya membatasi gudang senjata strategis dan stok nuklir yang dikerahkan oleh kedua negara, dan sepakat mengedepankan serangkaian tindakan yang ditujukan untuk peningkatan transparansi dan saling kepercayaan, termasuk penyiaran data telemetri, pembatasan aktivitas pengujian rudal, maupun pertukaran informasi lainnya.

Merujuk pada situasi aktual setahun berlangsungnya konflik antara Rusia dan Ukraina, nampaknya inilah waktunya bagi dunia, terutama China, India, dan Indonesia, untuk bersikap dengan ikhtiar menekan Amerika Serikat dan sekutunya agar mencari jalur diplomatik baru yang bisa meredam potensi perang dunia ketiga dan perang nuklir di balik eskalasi tidak berkesudahan antara Rusia dan Ukraina.

Apakah Presiden Jokowi masih berminat menjadi peace maker-nya? Mari kita tunggu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com