Menanggapi itu, Eropa berpeluang melakukan pembalasan dengan semakin meningkatkan bantuan untuk Ukraina di satu sisi dan menambah sanksi untuk Rusia di sisi lain, yang kemudian akan memperuncing ketegangan Rusia-Ukraina dan antara Barat dan Rusia sekaligus memperkecil peluang damai via jalur diplomasi.
Sementara bagi dunia, ujung peperangan yang semakin jauh akan meningkatkan potensi resesi global karena potensi ancaman ledakan harga komoditas bisa sewaktu-waktu terjadi jika Putin secara mendadak mengurangi suplai migasnya ke Eropa.
Ditakutkan harga-harga komoditas pokok akan kembali bergejolak, terutama komoditas yang sangat terpengaruhi oleh gejolak harga komoditas dunia, seperti yang terjadi pada kenaikan harga BBM dan gejolak harga komoditas minyak goreng pada pertengahan tahun lalu.
Tidak lupa pula, reaksi China yang masih ambigu membuat Rusia yakin bahwa negara Beruang Merah itu tidak benar-benar sendiri.
Meskipun sikap China di United Nation General Assembly menekankan pentingnya menghormati kedaulatan sebuah negara, tapi kunjungan Menlu China ke Moskow seiring dengan kunjungan Joe Biden ke Kiev membuat posisi China menjadi semakin kabur. Secara geopolitis jalur diplomasi akan semakin sulit.
Kuncian ini justru membuka peluang akan mendekatkan Rusia pada pilihan terakhirnya dalam menghadapi Ukraina dan hegemoni Barat, yakni senjata nuklir.
Langkah awal itu telah diambil Putin saat mereaksi kunjungan Presiden Joe Biden ke Kiev beberapa hari lalu, yakni dengan menyatakan bahwa Rusia keluar dari perjanjian pembatasan hulu ledak berkepala nuklir dengan Amerika Serikat atau START Treaty.
Perjanjian START adalah perjanjian pembatasan senjata strategis besar terakhir antara dua negara adidaya nuklir masing-masing Amerika Serikat dan Rusia.
Perjanjian yang dirancang pada 2009 itu ditandatangani di Praha, ibu kota negara Republik Cekoslovakia pada 2010 oleh Presiden Rusia saat itu, Dmitry Medvedev dan Presiden Amerika Serikat Barack Obama.
Isi penting perjanjian itu di antaranya membatasi gudang senjata strategis dan stok nuklir yang dikerahkan oleh kedua negara, dan sepakat mengedepankan serangkaian tindakan yang ditujukan untuk peningkatan transparansi dan saling kepercayaan, termasuk penyiaran data telemetri, pembatasan aktivitas pengujian rudal, maupun pertukaran informasi lainnya.
Merujuk pada situasi aktual setahun berlangsungnya konflik antara Rusia dan Ukraina, nampaknya inilah waktunya bagi dunia, terutama China, India, dan Indonesia, untuk bersikap dengan ikhtiar menekan Amerika Serikat dan sekutunya agar mencari jalur diplomatik baru yang bisa meredam potensi perang dunia ketiga dan perang nuklir di balik eskalasi tidak berkesudahan antara Rusia dan Ukraina.
Apakah Presiden Jokowi masih berminat menjadi peace maker-nya? Mari kita tunggu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.