JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah Indonesia akan mengawasi pelaku perjalanan dari Afrika, khususnya Guyana Ekuatorial menyusul temuan baru kasus virus Marburg. Selain Guyana Ekuatorial, negara tetangganya, Kamerun, juga ditemukan dua kasus suspek.
Seorang epidemiolog mengatakan kasus virus Marburg semakin intensif, membuka potensi yang semakin meluas menjadi pandemi, sementara sistem kesehatan Indonesia disebut "rawan".
Ahli kesehatan mendorong komitmen anggaran pemerintah pada tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan untuk melakukan langkah mitigasi.
Baca juga: Virus Marburg Tewaskan Warga Ghana, Virus Apa Itu dan Apakah Bisa Dihindari?
Pemerintah Indonesia menyatakan akan "memberikan perhatian lebih" kepada pelaku perjalanan negara Guyana Ekuatorial dan Kamerun. Ini menyusul kasus temuan terbaru virus Marburg dari Afrika.
"Kalau ada riwayat perjalanan, untuk diminta melapor ke fasilitas kesehatan, ketika masuk negara kita," kata Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, dokter Siti Nadia Tarmizi.
Jika pelaku perjalanan mengalami gejala seperti "demam, nyeri otot, muncul diare", maka akan dilakukan uji pengurutan genom pada pelaku perjalanan tersebut.
Sejauh ini, Indonesia belum memiliki riwayat keberadaan kasus virus Marburg, kata dokter Nadia. "Indonesia tidak pernah, dan negara-negara tetangga juga tidak pernah," katanya.
Dokter Nadia mengeklaim penularan virus Marburg tidak secepat Covid-19. "Penularannya tidak mudah. Ini lewat cairan tubuh. Jadi air liur, jadi makanya tidak terlalu khawatir lewat saluran pernapasan," katanya.
Intensitas temuan kasus virus Marburg sejauh ini mengalami peningkatan. Berdasarkan laporan WHO, kasus penyakit virus Marburg terjadi tiga tahun terakhir berturut-turut sejak 2017.
Tahun |
Negara |
Kasus terkonfirmasi |
Kematian |
Rasio kematian |
---|---|---|---|---|
2023 |
Guyana Ekuatorial |
1 |
1 |
100% |
2022 |
Ghana |
2 |
2 |
100% |
2021 |
Guyana |
1 |
1 |
100% |
2017 |
Uganda |
3 |
3 |
100% |
2014 |
Uganda |
1 |
1 |
100% |
2012 |
Uganda |
15 |
4 |
27% |
2008 |
Belanda |
1 |
1 |
100% |
2008 |
Amerika Serikat |
1 |
0 |
0% |
2007 |
Uganda |
4 |
2 |
50% |
2005 |
Angola |
374 |
329 |
88% |
1998-2000 |
Republik Demokratik Kongo |
154 |
128 |
83% |
1987 |
Kenya |
1 |
1 |
100% |
1980 |
Kenya |
2 |
1 |
50% |
1975 |
Afrika Selatan |
3 |
1 |
33% |
1967 |
Yugoslavia |
2 |
0 |
0% |
1967 |
Jerman |
29 |
7 |
24% |
Ahli epidemiologi dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman, mengatakan WHO sudah menyatakan virus Marburg berpotensi menjadi pandemi sejak 2018. Sebab, wabahnya semakin intensif dalam tiga tahun terakhir.
"Kekerapannya drastis, yang membuat ini harus disikapi serius. Karena ada sesuatu yang berpotensi berbahaya, entah itu karakter virusnya yang bermutasi, atau ada faktor vektor atau hewan pembawa virus ini," kata Dicky kepada BBC News Indonesia, Senin (20/2/2023).
Selain itu, masa inkubasi virus Marburg bisa mencapai tiga minggu. Artinya, orang yang terinfeksi memiliki waktu yang lebih lama untuk bisa membawa serta virus tersebut ke lokasi lain sampai menimbulkan gejala.
"Besar kemungkinannya terjadi dalam waktu dekat, karena apa? Karena arus mobilitas sangat tinggi," jelas Dicky yang memperingatkan wabah bisa melompat ke benua lain karena sistem transportasi udara yang mudah saat ini.
"Sangat besar kemungkinan terjadi di negara yang sistem kesehatannya lemah," tambahnya.
Baca juga: Afrika Barat Hadapi Ancaman 3 Wabah Virus Sekaligus: Covid-19, Ebola, dan Marburg
Musababnya, kata dia, surveilans kesehatan belum didukung dengan sumber daya dan teknologi yang memadai, misalnya dalam pintu masuk dari luar negeri.
Surveilans kesehatan adalah kegiatan pengamatan yang sistematis dan terus menerus terhadap data dan informasi tentang kejadian penyakit guna bisa mengambil tindakan pengendalian dan penanggulangan secara efektif dan efisien.
Padahal, ujar Dicky, pemerintah saat ini memiliki PeduliLindungi yang bisa dimanfaatkan.
"Peduli Lindungi perlu di-maintenance, eskalasinya ditingkatkan, supaya bisa tangkap orang-orang yang begini (membawa virus). Bisa dipantau sama otoritas kesehatan di daerah," katanya.
Ia juga tak setuju untuk menutup pintu bagi pengunjung Guyana Ekuatorial dan Kamerun. Akan tetapi pemerintah perlu "lebih memperhatikan para pendatang dari Afrika, dari negara terdampak, semacam ada karantina."
Peningkatan kapasitas tenaga kesehatan untuk pengawasan, baik di pintu-pintu masuk Indonesia dan di Puskesmas diperlukan.
"Sekarang ini kita dalam keadaan mode preparedness, atau kesiapsiagaan. Nah, untuk meningkatkan survailens harus meningkatkan komitmen anggaran," katanya.
Baca juga: Guinea Nyatakan Wabah Virus Mematikan Marburg Resmi Berakhir
WHO melaporkan kasus wabah pertama virus Marburg di Guyana Ekuatorial, bagian barat Afrika Tengah pada 7 Februari.
Per 13 Februari 2023, telah dilaporkan sebanyak satu kasus konfirmasi, 16 kasus suspek, dan sembilan kematian. Gejala yang timbul di antaranya demam, lemas, diare, dan muntah darah.
WHO telah mengerahkan tenaga kesehatan untuk melacak orang yang berkontak, mengisolasi, dan memberikan perawatan kepada mereka yang menunjukkan gejala tersebut.
"Marburg sangat menular. Berkat tindakan cepat dan tegas oleh otoritas Guyana Ekuatorial dalam mengonfirmasi penyakit tersebut, tanggap darurat dapat dilakukan dengan cepat sehingga kami bisa menyelamatkan nyawa, dan menghentikan virus sesegera mungkin," kata Dr Matshidiso Moeti, Direktur Regional WHO untuk Afrika.
Sehari setelah pengumuman ini, WHO menggelar rapat darurat dengan ahli kesehatan untuk membahas vaksin dan terapi yang perlu dilakukan.
Di sisi lain, pihak berwenang Kamerun mendeteksi dua suspek penyakit Marburg di wilayah yang berbatasan dengan Guyana Ekuatorial. Saat ini Kamerun telah membatasi warganya untuk melintasi negara ke Guyana Ekuatorial.
"Pada 13 Februari, kami memiliki dua kasus yang dicurigai. Mereka adalah dua anak berusia 16 tahun, laki-laki dan perempuan, yang tidak memiliki riwayat perjalanan sebelumnya ke daerah yang terkena dampak di Guinea Khatulistiwa," kata pejabat kesehatan setempat, Robert Mathurin Bidjang, seperti dikutip dari Reuters, (14/02).
Sebelumnya, kasus virus Marburg pada manusia terdeteksi di Guyana, Afrika Barat pada 2021 dan di Ghana pada 2022.
Menurut WHO, virus Marburg mirip dengan virus Ebola yang mematikan.
Wabah virus Marburg diketahui pertama kali terjadi pada 1967, ketika sebanyak 31 orang terinfeksi, tujuh di antara mereka meninggal secara bersamaan di Kota Marburg dan Frankfurt, Jerman. Dua kasus lainnya terjadi di Serbia.
Baca juga: 9 Tewas karena Virus Marburg, WHO Gelar Rapat Urgen
Sejak saat itu, virus ini kemudian dikaitkan dengan hewan-hewan lainnya.
Di antara manusia, virus ini sebagian besar disebarkan melalui orang-orang yang menghabiskan waktu lama di gua dan pertambangan yang dihuni oleh kelelawar.
Virus Marburg menimbulkan gejala:
Gejala ini kemudian diikuti tiga hari kemudian dengan:
WHO mengatakan, penampakan dari pasien pada fase ini digambarkan "seperti perwujudan hantu" dengan "mata cekung, wajah tanpa ekspresi, dan kelesuan yang ekstrem."
Banyak orang juga mengalami pendarahan dari berbagai bagian tubuh, dan meninggal delapan sampai sembilan hari setelah mengalami sakit, karena kehilangan banyak darah dan kejang.
Berikut adalah sejumlah fakta tentang virus Marburg yang dirangkum dari laporan WHO:
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.